Risiko ini dapat dikurangi melalui perlindungan proaktif dan manajemen adaptif. Dalam pemetaan ini, 23 persen karbon yang tidak dapat dipulihkan berada dalam kawasan lindung dan 33,6 persen dikelola masyarakat adat serta komunitas lokal.
Indonesia bisa mengehemat miliaran dollar AS jika bisa menjaga dan memulihkan lahan gambutnya. Selain itu, upaya ini dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah 12.000 kematian dini.
Hasil kajian para peneliti dari University of Leeds ini diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada Kamis (2/12/2021). Hasil riset ini diperoleh dengan menganalisis data emisi kebakaran dan tutupan lahan berbasis model satelit.
Peneliti menemukan bahwa restorasi lahan gambut dapat menghasilkan penghematan ekonomi sebesar 8,4 miliar dollar AS untuk kurun waktu 2004-2015.
Saat ini pemerintah Indonesia berkomitmen merestorasi 2,5 juta hektare lahan gambut yang rusak dengan proyeksi biaya 3,2 - 7 miliar dollar AS. Biaya ini jauh lebih kecil dibandingkan dampak kerugian kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 di Indonesia yang mencapai 28 miliar dollar AS.
Studi tersebut menyatakan, jika restorasi telah selesai, area yang rusak karena terbakar pada tahun 2015 akan berkurang sebesar 6 persen, mengurangi emisi Co2 sebesar 18 persen, dan emisi partikel halus(PM2.5)- yang dapat menembus jauh kedalam paru-paru- sebesar 24 persen sehingga bisa mencegah 12.000 kematian dini.
Laura Kiely, peneliti di University of Leeds, mengatakan bahwa terdapat banyak manfaat restorasi gambut dari manfaat lokal berupa berkurangnya kerugian properti, manfaat regional untuk kualitas udara dan kesehatan masyarakat, hingga global dari pengurangan emisi CO2.
Sebaliknya, kerusakan lahan gambut dapat memicu kebakaran, merusak lahan pertanian serta menggangu transportasi, pariwisata dan perdagangan. Kebakaran juga menghasilkan emisi Co2 yang besar.
Studi ini juga menyoroti pentingnya jumlah luas lahan yang direstorasi dan di mana restorasi terjadi. Disebutkan restorasi harus ditargetkan di area yang telah terbukti paling rentan terhadap kebakaran di masa lalu.
Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaston karbon, atau sekitar 55 persen karbon lahan gambut tropis dunia.
Prosentase besar lahan gambut dunia yang dimiliki Indonesia ini, jelas ada manfaat di seluruh dunia untuk memulihkan dan menjaga lahan gambut di Indonesia.
Alasan-alasan ilmiah dari riset yang dikemukakan di atas, semakin memperkuat pentingnya upaya pemerintah Indonesia tidak hanya untuk memulihkan dan merestorasi gambut yang rusak, tetapi juga meneguhkan akan moratorium permanen hutan primer rawa gambut menjadi mutlak, penting dan diperlukan tidak hanya untuk masyarakat Indonesia, tetapi juga kepentingan umat manusia di bumi ini.
Klaim tentang keberhasilan restorasi gambut yang dilakukan oleh pemerintah seperti dilontarkan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada Workshop Succes Story Restorasi Ekosistem Gambut di Jakarta, Rabu, 19 Juni 2024, nampaknya perlu diuji kembali kesahihannya (validitas).
Wamen Alue Dohong menyebut KLHK telah berhasil memulihkan ekosistem gambut di dalam areal konsesi seluas 3,9 juta hektare, di mana 2,3 juta hektare berada di lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 1,6 juta hektare berada di lahan perkebunan.
Sebanyak 30.404 unit sekat kanal telah dibangun dan ada 10.838 Titik Penaatan tinggi muka air tanah (TMAT). Sementara luas areal pemulihan gambut yang berada di lahan masyarakat mencapai 52.430 hektare.
Selain itu, ada juga restorasi gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang luasnya telah mencapai 1,6 juta hektare.
Indonesia merupakan negara pemilik gambut tropis terluas di dunia mencapai 13,4 juta hektare.
Di lain pihak, dalam laporan “Gelisah di Lahan Basah: Korporasi, Pemerintah dan Semua Komitmen Kosong Restorasi Gambutnya“ (Kompas, 1/8/2024), menyebut upaya restorasi gambut hingga 2 juta hektare memang mencapai target yang ditetapkan.
Namun, pengawasan dan perawatan infrastruktur restorasi gambut masih belum optimal. Pantau Gambut menemukan 54 dari 77 sekat kanal atau sekitar 70 persen sekat kanal dalam kondisi rusak atau kurang perawatan.
Kerusakannya seperti TMAT lebih dari 40 cm, kemudian ada sekat kanal yang jebol dan ditutupi semak belukar.
Selain itu, 95 persen dari 289 titik sampel gambut nonkonsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar dan kehilangan tutupan pohon telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering serta semak belukar.
Kelapa sawit menjadi komoditas paling dominan di lahan bekas terbakar tesebut. Di area konsesi perusahaan tercatat hanya 1 persen dari 240 titik sampel yang kembali menjadi hutan, meski pernah terbakar dan mengalami kehilangan tutupan pohon.
Kondisi tersebut terjadi di beberapa area perusahaan di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan yang sering memiliki masalah konflik sosial dengan masyarakat.
Pemulihan gambut dilakukan dengan empat cara: rehabilitasi, suksesi alami, restorasi dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Rehabilitasi yang diartikan sebagai revegetasi adalah cara yang paling sulit memulihkan gambut. Cara yang paling mudah dalam pemulihan gambut adalah dengan suksesi alami karena proses pemulihannya diserahkan kepada alam.
Suksesi alami dilakukan terhadap ekosistem gambut berkanal yang telah bersekat dan tidak terdapat gangguan manusia.
Namun cara ini membutuhkan waktu cukup lama. Untuk membantu mempercepat proses pemulihan gambut, restorasi adalah cara yang paling logis dan masuk akal.
Kegiatan restorasi dilakukan untuk menjadikan ekosistem gambut atau bagian-bagiannya berfungsi kembali, melalui pembangunan infrastruktur pembasahan kembali gambut yang meliputi bangunan air, penampungan air, penimbunan kanal dan atau pemompaan air.
Bangunan air itu adalah sekat kanal, embung dan bangunan air lainnya. Rehabilitasi hutan gambut dengan cara revegetasi adalah cara yang paling sulit dalam memulihkan ekosistem rawa gambut. Tingkat keberhasilannya rendah.
Pemulihan lahan gambut yang paling efektif adalah cara gabungan antara restorasi dan suksesi alami.
Salah satu indikator keberhasilan restorasi gambut adalah apabila jumlah titik api (hot spot) berkurang dibanding dengan sebelum kegiatan restorasi.
Dapat dibayangkan apabila sekat kanal atau sumur bor banyak yang rusak dan tidak berfungsi, maka pada musim kemarau panjang, bila terjadi kebakaran bisa dipastikan jumlah titik api akan meningkat dengan tajam.
Klaim pemerintah tentang keberhasilan memulihkan lahan gambut akan dibuktikan kembali pada puncak musim kemarau di September 2024 nanti.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya