KOMPAS.com - Venezuela mungkin akan menjadi negara pertama dalam sejarah modern yang kehilangan semua gletsernya.
The International Cryosphere Climate Initiative (ICCI), sebuah organisasi ilmiah, mengatakan bahwa satu-satunya gletser yang tersisa di negara Amerika Selatan itu, yakni Humboldt atau La Corona di Andes, telah terlalu kecil untuk digolongkan sebagai gletser.
Organisasi itu, seperti dikutip dari BBC, Senin (19/8/2024), menyebut Humboldt sebagai hamparan es. Venezuela telah kehilangan sedikitnya enam gletser lainnya dalam satu abad terakhir.
Dengan meningkatnya suhu rata-rata global akibat perubahan iklim, hilangnya es semakin meningkat, yang membantu menaikkan permukaan laut di seluruh dunia.
Baca juga:
"Tidak banyak lapisan es di gletser terakhir Venezuela sejak tahun 2000-an," kata Dr. Caroline Clason, seorang ahli glasiologi di Universitas Durham.
"Sejak itu, tidak ada lagi es yang ditambahkan, jadi telah direklasifikasi sebagai hamparan es," lanjut dia.
Maret lalu, para peneliti di Universitas Los Andes di Kolombia mengatakan bahwa gletser tersebut telah menyusut dari 450 hektar menjadi hanya dua hektar.
Luis Daniel Llambi, seorang ahli ekologi di universitas tersebut, menambahkan bahwa gletser tersebut kini telah menyusut menjadi kurang dari itu.
Meski tidak ada standar global untuk ukuran minimum es agar memenuhi syarat sebagai gletser, Survei Geologi Amerika Serikat menyebut pedoman yang diterima secara umum adalah sekitar 10 hektar.
Dengan ukurannya yang semakin menyusut, Profesor Mark Maslin, profesor ilmu sistem bumi di University College London, menyatakan bahwa hamparan es seperti Humboldt yang hanya setara dengan luas dua lapangan sepak bola bukanlah gletser.
"Gletser adalah es yang mengisi lembah, itulah definisinya. Oleh karena itu, saya mengatakan Venezuela tidak memiliki gletser sama sekali," ungkapnya.
Pemerintah Venezuela sebelumnya mengumumkan proyek penyelamatan gletser dengan menutupi sisa es dengan selimut termal yang diharapkan dapat menghentikan atau membalikkan proses pencairan.
Namun, langkah tersebut menuai kritik dari para ilmuwan iklim setempat yang memperingatkan bahwa penutup tersebut dapat mencemari habitat di sekitarnya ketika partikel plastik terdegradasi.
Maslin juga berpendapat bahwa hilangnya gletser tidak dapat langsung dipulihkan.
"Setelah gletser mencair, sinar matahari memanaskan tanah membuatnya jauh lebih hangat dan jauh lebih kecil kemungkinannya untuk benar-benar membentuk es selama musim panas," terangnya.
Baca juga:
Lebih lanjut, Maximiliano Herreera, peneliti cuaca ekstrem, menulis di X bahwa ada beberapa negara berikutnya yang kemungkinan besar akan bebas gletser. Ia menyebut di antaranya adalah Indonesia, Meksiko, dan Slovenia.
Maslin menambahkan, negara-negara itu masuk akal disebut karena kedekatannya yang relatif dengan garis khatulistiwa dan pegunungan yang relatif rendah. Hal tersebut membuat lapisan es mereka lebih rentan terhadap pemanasan global.
Gletser berukuran kecil, seperti yang baru-baru ini hilang di Venezuela, tidak mengandung cukup es untuk menaikkan permukaan laut secara substansial saat mencair. Namun di beberapa wilayah, gletser memainkan peran penting dalam memasok air tawar bagi masyarakat, terutama selama musim panas dan kering.
Kabar buruknya, proyeksi terbaru menunjukkan antara 20 hingga 80 persen gletser di dunia akan hilang pada tahun 2100. Untuk itu, perlu aksi segera supaya hal tersebut tak terjadi.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah melakukan penurunan emisi CO2 untuk menyelamatkan endapan gletser lainnya. Ini akan memberikan manfaat besar bagi mata pencaharian, ketahanan energi, air, dan pangan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya