PEMANASAN global, semua orang sudah tahu dan paham karena sudah merasakan dampaknya.
Di Indonesia akibat pemanasan global yang panjang menyebabkan efek El Nino yang membawa kekeringan berkepanjangan pada 2023 lalu.
Penyebab krisis iklim adalah pemanasan global dipicu emisi karbon di atmosfer. Emisi karbon adalah hasil aktivitas ekonomi manusia.
Penyebab terbesar adanya emisi karbon di antaranya akibat alih fungsi hutan untuk kepentingan nonkehutanan.
Menurut data terakhir, sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan.
Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran sebesar 12 persen, limbah pabrik sebesar 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.
Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan, baik secara legal (melalui perizinan resmi) maupun ilegal (melalui perambahan hutan dan pencurian kayu) serta kebakaran hutan.
Indonesia merupakan tiga besar pemilik hutan tropika basah di dunia setelah negara Brasil dan Republik Demokratik Kongo yang mempunyai saham besar dalam penyerapan emisi karbon dari kawasan hutannya.
Beberapa tipe ekosistem hutan tropika basah yang mempunyai andil besar dalam penyerapan dan penyimpanan ekosistem karbon adalah ekosistem hutan gambut dan hutan mangrove.
Indonesia beruntung mempunyai etalase formasi hutan yang lengkap mulai dari pantai sampai hutan hujan dataran tinggi.
Tipe ekosistem hutan dari bawah adalah hutan pantai dan mangrove, hutan gambut, hutan tropika basah dataran rendah dan hutan tropika basah dataran tinggi.
Terdapat dua ekosistem hutan unik yang selalu digenangi air, walaupun karakteristiknya berbeda, yaitu hutan mangrove dan gambut.
Keduanya diklaim sebagai ekosistem yang mampu menyerap emisi karbon terbesar dibanding hutan tropis lainnya.
Hutan sekunder mangrove mampu menyimpan karbon 54,1 – 182,5 ton karbon setiap hektare. Mangrove diklaim dapat menyimpan karbon 3-5 kali lebih tinggi dari hutan tropis.
Sementara itu, hasil penelitian mengemukakan bahwa hutan gambut memiliki potensi sebagai penyerap emisi karbon sangat besar di bumi.
Kebakaran gambut di Indonesia tahun 1997-1998 telah melepaskan hingga 2,5 miliar ton karbon, sedangkan kebakaran tahun 2002-2003 telah melepaskan antara 200 juta hingga satu miliar ton karbon ke atmosfer.
Bagaimana sebenarnya posisi dan peran ekosistem gambut dan mangrove Indonesia terkait penyerapan emisi karbon secara global?
Berikut ini diuraikan deforestasi dan kerusakan, regulasi dan pemulihan terkait ekosistem gambut dan mangrove di Indonesia.
Ekosistem gambut Indonesia yang mempunyai luas mencapai 13,34 juta hektare menjadi contoh sempurna hutan tropika yang lengkap dalam kondisi klimaks.
Dengan vegetasi heterogen, tanah gambut berlapis-lapis dan air rawa yang menyatu dengan ekosistem hutan hingga menjadi ekosistem hutan rawa gambut.
Dengan ekosistem seperti itu, gambut menjadi penyerap dan penyimpan emisi karbon sangat besar. Secara alami, hidrologi gambut memiliki mekanisme perlindungan diri untuk mencegah kebakaran besar.
Peran hutan alam primer rawa gambut di Indonesia, khususnya Kalimantan dalam percaturan pengendalian iklim mulai menampakkan sosok yang sesungguhnya.
Dalam laporan riset yang diterbitkan jurnal Nature Sustainability pada 18 November 2021 lalu, tim peneliti dari Conservation International, Amerika Serikat telah membuat peta terbaru bagian dunia yang memiliki konsentrasi karbon amat tinggi dan jika terlepas akan memicu bencana iklim.
Wilayah gambut di Kalimantan dan Papua termasuk yang memiliki konsentrasi karbon di bumi.
Kelompok peneliti yang dipimpin Monica L. Noon ini menyebutkan untuk menghindari bencana perubahan iklim dibutuhkan dekorbonisasi yang cepat dan pengelolaan ekosistem lebih baik pada skala planet.
Karbon yang dilepaskan melalui pembakaran bahan baku fosil akan membutuhkan waktu ribuan tahun untuk beregenerasi di bumi.
Monica dan tim menemukan wilayah di bumi yang menyimpan karbon tertinggi dan harus dijaga di antaranya adalah permafrost atau tanah beku di belahan utara termasuk Siberia dan kawasan rawa-rawa sepanjang pantai barat laut Amerika Serikat.
Selain itu, Lembah Amazon, Cekungan Kongo, dan sebagain wilayah Kalimantan. Beberapa area itu merupakan kawasan mangrove, yang lain berupa lahan gambut.
Untuk Indonesia, selain Kalimantan yang dipetakan menyimpan karbon yang sangat tinggi adalah Papua bagian selatan.
Kawasan itu merupakan penyerap karbon alami dan dapat dianggap jadi sumber penyimpan sumber daya yang tidak bisa dipulihkan. Sebab jika karbon tersimpan dilepaskan oleh aktivitas manusia, maka butuh waktu berabad-abad bagi daerah itu untuk pulih.
Jika karbon lepas, hal itu tidak dapat dipulihkan dalam jangka waktu tertentu, minimal selama 30 tahun. Padahal emisi global harus mencapai emisi bersih pada 2050.
Sejak 2010, pertanian, penebangan kayu dan kebakaran hutan melepaskan emisi karbon setidaknya 4 gigaton (Gt) karbon yang tidak dapat dipulihkan.
Sisanya 139 – 443 gigaton (Gt) karbon dunia yang tidak dapat dipulihkan itu menghadapi risiko konversi penggunaan lahan dan perubahan iklim. Jika itu terjadi, maka bakal akan terjadi bencana iklim.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya