JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia bersama dengan seluruh negara di dunia saat ini tengah berupaya membangun masa depan berkelanjutan. Upaya ini dirumuskan melalui komitmen global Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Namun, tantangan yang dihadapi semakin kompleks, terutama pasca pandemi Covid-19. Sejumlah tantangan yang dihadapi adalah perubahan iklim, polusi, degradasi lingkungan, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Tantangan tersebut pun ternyata turut berdampak pada produktivitas kerja. International Labour Organization (ILO) pada 2020 mengeluarkan data terkait proyeksi hilangnya jam kerja akibat panas (heat stress) di negara G20 pada periode 1995-2030.
Proyeksi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia, nomor dua setelah India, mengalami penurunan produktivitas akibat panas berlebihan. Selain itu, Indonesia juga rentan terhadap bencana alam yang dapat menyebabkan hilangnya puluhan jutaan masa kerja.
Oleh karena itu, mengubah sumber energi dari yang berbasis bahan bakar fosil (brown energy) menjadi energi terbarukan (clean energy) dinilai sebagai langkah penting.
Upaya itu juga akan membuka peluang pekerjaan hijau (green jobs) yang lebih besar di masa depan. Sebab, energi merupakan salah satu penggerak mobilisasi ekonomi.
Pekerjaan hijau atau green jobs merupakan pekerjaan yang berkontribusi pada pelestarian lingkungan. Green jobs dapat mencakup pekerjaan di berbagai bidang, seperti pertanian, industri, jasa, dan administrasi.
Kehadiran green jobs bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan dan sektor ekonomi hingga ke tingkat yang mampu mewujudkan pelestarian lingkungan hidup.
Ketua Tim Pelaksana SDGs Indonesia Vivi Yulaswati menjelaskan, terdapat 12,7 juta peluang green jobs secara global pada 2021. Angka ini diprediksi naik menjadi 74 juta peluang pada sektor yang terkait dengan efisiensi energi, electric vehicle (EV), power system, dan hidrogen pada 2030.
“Untuk Indonesia, saat ini, sekitar 40 perusahaan yang beroperasi di sini sudah beradaptasi dengan isu-isu strategi ekonomi hijau,” kata Vivi dalam temu wicara sesi-3 “Building The Green Jobs & Human Capital Roadmap to Achieve a Sustainable Future” dalam KG Media Lestari Summit yang digelar di Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Vivi mengatakan, pemerintah memprediksi bahwa ke depan, investasi hijau dapat menciptakan 7-10 kali lipat lapangan kerja hijau jika dibandingkan lapangan pekerjaan yang diciptakan oleh investasi konvensional.
Pada 2060, peluang kerja dari investasi hijau pun diprediksi terus bertambah dengan menghadirkan 1,8-2,2 juta lapangan kerja tambahan.
Hal itu karena green jobs memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pencapaian SDGs dengan cara meningkatkan ekonomi berkelanjutan yang inklusif dan melindungi lingkungan.
Peningkatan tren dan peluang green jobs di Indonesia diamini oleh Head of Leadership Development and Scholarship Tanoto Foundation Michael Susanto. Ia menilai, permintaan terhadap green jobs oleh industri semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Hal tersebut juga didukung oleh potensi Indonesia sebagai penyedia lapangan kerja hijau di berbagai bidang.
“Potensinya sangat besar, baik dari segi sumber daya di sektor green economy maupun blue economy. Indonesia menempati peringkat satu atau dua di dunia dalam bisnis kredit karbon dan biomassa. Jadi, potensinya memang luar biasa,” kata Michael.
Kendati demikian, di balik peluang tersebut terdapat tantangan besar dari sisi kesenjangan pemahaman dan kesiapan sumber daya manusia (SDM).
Michael menjelaskan, sektor swasta sering kali masih belum memiliki pandangan yang sama terhadap definisi dan penerapan green jobs. Menurutnya, masih banyak pihak swasta yang menganggap pekerjaan hijau hanya terbatas pada bidang lingkungan, teknik, pertanian, ataupun energi terbarukan.
“Padahal, pekerjaan apa pun bisa saja menjadi green jobs,” terangnya.
Sebagai contoh, pekerjaan urban planner yang melakukan pengelolaan tata kota, bisa menjadi green jobs. Misalnya, mereka dapat ditugaskan untuk menyusun rencana pengurangan emisi karbon hingga 40 persen dalam 10 tahun.
Sementara dari sisi SDM, menurut Michael, untuk menyambut peluang tersebut dibutuhkan SDM transformatif yang menjadi kunci kesetaraan peluang.
“Hal itu penting untuk disiapkan. Sayangnya, kesadaran ini baru muncul belakangan,” ungkapnya.
Michael mengatakan, sektor pendidikan di Indonesia saat ini masih terkesan “kejar tayang” dalam menyiapkan SDM yang mampu memenuhi kebutuhan di sektor ekonomi hijau. Oleh karena itu, harus segera dilakukan investasi, komitmen, serta percepatan, baik dari sisi industri maupun pendidikan.
“Dunia pendidikan tidak bisa bergerak sendiri. Industri dan dunia usaha harus mendekatkan diri karena mereka yang akan menggunakan SDM yang dihasilkan,” imbuhnya.
Sebab, jika lulusan tidak memiliki kompetensi yang cukup, dunia usaha dan industri tidak bisa berakselerasi untuk mencapai target mereka. Oleh karena itu, kolaborasi antara pendidikan dan industri penting untuk mendukung tujuan nasional dalam pelestarian lingkungan.
Michael mengatakan, sektor industri perlu menyusun kompetensi apa saja yang dibutuhkan terkait green jobs. Di sisi lain, sektor pendidikan juga harus melakukan sejumlah inisiatif, seperti peningkatan kompetensi dan pemahaman tenaga pendidik terkait green jobs.
Sebagai contoh, dosen akuntansi harus mengerti hubungan akuntansi dengan kegiatan ekonomi hijau. Begitu juga dengan pendidik di sektor lain.
“Mereka harus tahu apa saja yang perlu diubah atau disesuaikan supaya lulusan perguruan tinggi relevan dengan industri di masa depan, termasuk tren ekonomi hijau,” kata Michael kepada Kompas.com.
Namun, sektor pendidikan tinggi sering kali juga belum menyadari peran mereka dalam mendorong praktik green jobs.
“Sektor pendidikan tinggi belum tentu menyadari bahwa setiap ilmu dan setiap fakultas itu bisa berkontribusi terhadap green economy dan blue economy,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa institusi pendidikan tinggi perlu melakukan transformasi dan penyelarasan pemahaman.
Sebagai organisasi filantropi yang berfokus pada bidang pendidikan, Tanoto Foundation berinisiatif melakukan modeling terkait kebutuhan kompetensi untuk ekonomi Indonesia di masa depan.
Michael menjelaskan, Tanoto Foundation memiliki program Beasiswa Teladan yang bekerja sama dengan 10 universitas di Indonesia.
Setiap tahun, program itu menerima sekitar 250 mahasiswa yang akan dilengkapi dengan sejumlah soft skill, pola pikir berkelanjutan, serta kemampuan esensial lain. Mereka juga turun langsung ke lapangan untuk mengimplementasikan proyek sosial, memahami permasalahan yang terjadi, serta menjadi solusi bagi masyarakat.
“Upaya ini merupakan salah satu langkah kami untuk menjawab kebutuhan di masa depan, termasuk terkait green jobs yang butuh kolaborasi lintas sektor,” kata Michael.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya