KOMPAS.com - World Benchmarking Alliance (WBA) telah merilis Nature Benchmark perdananya yang mengungkap kesenjangan mencolok antara komitmen perusahaan di dunia terhadap perlindungan lingkungan dan tindakan nyata.
Studi komprehensif ini menilai 816 perusahaan di lebih dari 20 industri dari tahun 2022 hingga 2024.
Hasil temuan tersebut pun terbilang meresahkan, di mana hanya 5 persen perusahaan besar di seluruh dunia yang telah melakukan penilaian tentang keterlibatan perusahaan terhadap dampak dan pengaruhnya pada lingkungan.
Seperti dikutip dari Sustainability-news,Senin (26/8/2024) ada beberapa poin penting yang ditemukan dari laporan tersebut.
Beberapa di antaranya adalah sebanyak 43 persen perusahaan memberikan bukti kualitatif tentang upaya untuk mengurangi penggunaan plastik.
Baca juga: 3 Tujuan Pengelolaan Keanekaragaman Hayati dalam IBSAP 2025-2045
Yang lebih memprihatinkan lagi, hanya 7 persen yang telah menetapkan target kuantitatif dan terikat waktu untuk mengurangi penggunaan plastik dan limbah plastik.
Pengelolaan air yang juga menjadi aspek penting dari manajemen lingkungan juga tak lupa disorot. Laporan menemukan bahwa 29 persen perusahaan melaporkan penggunaan air dari daerah yang kekurangan air.
Namun, di sisi lain sebanyak 72 persen perusahaan masih tidak mengungkapkan penggunaan air di daerah yang kekurangan air dalam operasi mereka.
Sementara hanya 15 persen bisnis yang melaporkan metrik tentang polutan yang dibuang ke air dan hanya 4 persen yang telah menetapkan target untuk menguranginya.
Laporan WBA juga menyoroti dimensi sosial dari praktik perusahaan yang terkait dengan alam.
Khususnya, hanya 13 persen dari perusahaan yang dinilai menyatakan komitmen yang jelas untuk menghormati hak-hak Masyarakat Adat.
Temuan ini sangat memprihatinkan mengingat bahwa Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal sering kali hidup dalam ekosistem kritis dan berdampingan dengan spesies yang terancam, serta mengelola sekitar 40 persen dari semua kawasan lindung daratan secara global.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan besar terus menganggap remeh alam, meskipun faktanya planet yang sehat menopang ekonomi yang sehat," ungkap Jenni Black, pimpinan transformasi alam WBA.
Ia menekankan bahwa perusahaan harus memahami dampak mereka terhadap alam untuk mengurangi risiko di masa mendatang dan bersiap menghadapi regulasi yang akan datang.
Baca juga: Konservasi Hutan Terpadu dapat Pulihkan Keanekaragaman Hayati hingga Kesejahteraan Warga Lokal
Laporan WBA pun menyerukan aksi nyata di berbagai bidang.
Bisnis harus meningkatkan upaya mereka untuk memahami dan mengurangi dampaknya terhadap alam.
Di mana perusahaan didesak untuk mengembangkan kompetensi yang lebih kuat dalam kepemimpinan senior dan meningkatkan mekanisme akuntabilitas yang terkait dengan alam dan keanekaragaman hayati.
Sedangkan pada saat yang sama, pembuat kebijakan, investor, dan organisasi masyarakat sipil harus menciptakan lingkungan yang mendukung yang memberi insentif dan menghargai praktik berkelanjutan.
Seperti misalnya, pemerintah, investor, dan masyarakat sipil juga diminta untuk meminta pertanggungjawaban sektor swasta dengan memastikan bahwa semua perusahaan besar dan transnasional secara teratur memantau, menilai, dan mengungkapkan risiko, ketergantungan, dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya