PEMBANGUNAN Indonesia dimulai dari pinggiran. Demikian salah satu dari Nawacita Presiden Joko Widodo.
Jika desa-desa maju, maka Indonesia pun akan maju. Maklum, Indonesia memiliki sekitar 75.000 desa.
Salah satu penunjang kemajuan desa adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat desa, antara lain dengan memberikan pelatihan dan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk meningkatkan perekonomian desa.
Kewirausahaan adalah salah satu yang didorong tidak hanya di kota, melainkan juga di desa. Kewirausahaan tidak hanya ditargetkan untuk generasi muda, tapi juga buat seluruh masyarakat desa.
Untuk menuju ke arah sana, yang harus dimiliki warga desa adalah jiwa kewirausahaan agar mereka tahu potensi desanya, kemudian membuat produk unggulan desa tersebut secara berkelanjutan.
Dengan wirausaha, maka perekonomian desa akan mandiri atau merdeka, tidak bergantung kepada pihak lain.
Memang, tidak mudah membangun desa menjadi desa yang merdeka secara ekonomi. Salah satu contohnya adalah bagaimana Desa Batulayang di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, membangun dirinya menjadi desa wisata.
Dahulu, warga di sana sebagian menjadi penjaja sewa villa, kini mereka menjadi wirausaha.
Alkisah, di lereng Gunung Gede terdapat desa yang memancarkan pesona keindahan alam dan semangat wirausaha. Desa Batulayang, namanya.
Desa yang terdiri atas 4 Rukun Warga (RW), 23 Rukun Tetangga (RT) dan 2 Dusun ini adalah saksi bisu dari perjalanan panjang menuju kejayaan sebagai desa wisata yang kemudian dikenal luas.
Tahun 2014, desa ini resmi menjadi desa wisata berkat semangat dan kegigihan beberapa tokoh penting, seperti Kepala Desa Haji Muhammad Iwan Setiawan, Kang Iman (Sudirman), Alm Kang Ade Rusmana, Mang Iding, Pak Alex dan sebagainya.
Semua bermula dari ide sederhana tokoh masyarakat yang melihat potensi wisata di Curug Kembar dan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke sana.
Berbekal semangat gotong-royong, masyarakat Desa Batulayang mulai membuka akses jalan menuju curug dan membangun infrastruktur dengan swadaya.
Mereka sadar bahwa alam yang indah harus dijaga dan dikembangkan. Maka dibuatlah "camping ground" untuk memfasilitasi akomodasi wisatawan. Warga pun mulai mendirikan beberapa "homestay" atau rumah tinggal.
Kini, ada sekitar 35 homestay yang dikelola oleh warga, peningkatan yang awalnya hanya berupa mimpi.
Dulu, segala sesuatu dikelola secara tradisional khas Indonesia. Kerukunan dan kebersamaan dibangun melalui kerja bakti, makan bersama atau botram dan kegiatan sosial lainnya.
Bahkan ibu-ibu Desa Batulayang mendirikan kelompok yang diberi nama "Greenpink" (Gerakan Emak-emak Peduli Lingkungan).
Usaha tersebut tidak sia-sia. Pada 2017, Batulayang mendapatkan penghargaan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Barat dengan kategori kelompok konservasi karena kepedulian mereka terhadap lingkungan.
Masyarakat semakin sadar untuk menanam tumbuhan di sekitar desa wisata serta menjaga lingkungannya. Masyarakat sangat sadar bahwa jika alam dijaga, maka alam akan menjaganya.
Tahun 2018 menjadi titik balik bagi Desa Wisata Batulayang. Pendampingan dari Podomoro University, Jakarta, berhasil membawa desa ini ke level lebih tinggi.
Homestay distandardisasi, infrastruktur jalan diperbaiki, dan sekretariat dibangun. Desa Wisata Batulayang pun menginspirasi daerah sekitarnya dengan munculnya banyak penginapan, vila, dan homestay lainnya.
Penghargaan Desa Wisata Inovatif dari DLH Provinsi Jawa Barat, dan Juara Harapan 1 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk kategori "Community Based Tourism" (Komunitas Berbasis Pariwisata) menjadi bukti keseriusan usaha mereka.
Tahun 2019, Desa Wisata Batulayang kembali meraih penghargaan dari DLH Provinsi Jawa Barat dalam kategori "Ecovillage Berkelanjutan".
Bersama Podomoro University, mereka mendapatkan penghargaan pendampingan desa wisata dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta menjadi desa wisata yang berkelanjutan.
Namun ketika Covid-19 melanda Indonesia, desa ini tidak luput dari dampaknya. Beberapa aset desa dijual demi bertahan hidup.
Namun semangat warga tidak pernah padam. Mereka justru semakin gigih dan giat membangun desa dengan swadaya masyarakat, termasuk Pondok Wisata Cai Mandala yang berkembang dari satu pondokan menjadi tujuh pondokan dengan tarif sewa per malam antara Rp 900.000 hingga Rp 1.600.000.
Dengan keyakinan bahwa pandemi akan segera berlalu, fasilitas desa terus dibangun. Selain Cai Mandala, ada Pangojayan, kolam renang alami dari air gunung yang dulunya adalah tempat pembuangan sampah, tempat glamping, perkebunan agrowisata, dan lain-lain.
Tahun 2021, Batulayang masuk dalam 100 besar desa wisata di seluruh Indonesia pada Program Anugerah Desa Wisata Indonesia dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan pada 2022 mereka meraih juara kedua desa wisata di Kabupaten Bogor.
Puncaknya tahun 2023 lalu, Desa Wisata Batulayang masuk 8 besar UNWTO (United Nations World Tourism Organization) mewakili Indonesia.
Semua pencapaian ini tidak lepas dari jiwa wirausaha yang dimiliki masyarakat Desa Wisata Batulayang, mulai dari kecil hingga besar. Perbaikan lingkungan menjadi langkah awal sebelum "dijual" ke masyarakat luas.
Dari hanya ide kecil untuk membuka akses ke Curug Kembar, hingga kini menjadi desa wisata yang dikenal luas, Batulayang adalah bukti nyata bahwa semangat dan kerja keras dapat mengubah nasib sebuah desa.
Lalu, bagaimana caranya suatu desa menjadi desa mandiri atau merdeka seperti Desa Wisata Batulayang?
Pertama, harus mempunyai ide atau nilai yang disepakati desa tersebut, dan apa tujuannya, apakah mau dijadikan desa wisata atau menjadi desa seperti apa?
Kedua, harus ada transparansi dalam pengelolaan anggaran sehingga semua warga bisa merasa diperlakukan adil.
Ketiga, transparansi dan keadilan akan meningkatkan kepercayaan, dan ini momentum untuk bersatu menggapai pertumbuhan.
Keempat, karena ada kesepakatan untuk bertumbuh, maka masyarakat akan sepakat bergotong royong untuk mendukung kepala desa atau tokoh masyarakat dalam rangka membangun desanya.
Kelima, jika hal ini dilakukan, maka desa juga akan terus bertumbuh dan bermanfaat untuk warga desanya.
Lima hal tersebut terjadi di Desa Wisata Batulayang, bahkan saat pandemi Covid-19 menyerang, di mana desa tersebut malah membangun penginapan dengan dana swadaya masyarakat.
Dalam keadaan kurang baik, masyarakat percaya terhadap pimpinan desa wisata dan kepala desa setempat.
Mereka yakin Covid 19 tidak akan menyerang selamanya, dan momen “sepi” pesanan justru digunakan untuk menghimpun kekuatan. Istilahnya, "blessing in disguise" (berkah di balik malapetaka).
Sebenarnya hal itu adalah wujud dari pengamalan Pancasila, terutama semangat kegotong-royongan. Terbukti Pancasila tidak hanya menjadi jawaban untuk Indonesia merdeka, tapi juga membangun desa merdeka.
Hal tersebut tidak bisa terjadi jika tidak ada semangat wirausaha untuk menciptakan produk inovatif dan berkelanjutan, sebagaimana definisi wirausaha di dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 2 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional Tahun 2021-2024.
Mau menjadi desa yang ekonominya mandiri atau merdeka? Berwirausahalah warganya!
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya