Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi: Krisis Iklim Tak Selesai Jika Hanya Pakai Pendekatan Ekonomi

Kompas.com, 5 September 2024, 13:18 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa persoalan krisis iklim tidak akan selesai jika negara-negara di dunia hanya memikirkan sisi ekonomi.

Hal itu disampaikannya saat membuka gelaran Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2024).

“Yang justru ingin saya tekankan adalah permasalahan perubahan iklim ini tidak ada pernah bisa terselesaikan selama dunia menggunakan pendekatan ekonomi. Selama dunia hanya menghitung keuntungannya sendiri, dan selama dunia hanya mementingkan egosentrisnya sendiri-sendiri,” kata Presiden Jokowi.

Baca juga: Perubahan Iklim Tingkatkan Risiko Penyakit dari Konsumsi Produk Mentah

Menurutnya, ia tidak perlu lagi menyampaikan tentang betapa bahayanya perubahan iklim, betapa mendesaknya transisi energi, ataupun pentingnya keberlanjutan.

Sebab, untuk menyelesaikan isu perubahan iklim, ia menegaskan perlunya pendekatan kolaboratif dan berperikemanusiaan, antara negara maju dan berkembang.

Serta, perlu memerhatikan aspek kemanusiaan agar prosesnya tidak mengorbankan kepentingan rakyat kecil.

“Karena ekonomi hijau bukan hanya tentang perlindungan lingkungan, bukan hanya itu, tapi juga tentang bagaimana menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, kesejahteraan yang berkelanjutan bagi rakyat,” ia menambahkan.

Baca juga: Hadapi Perubahan Iklim, Kota di Pesisir Harus Beradaptasi Lebih Cepat

Potensi energi hijau Indonesia

Presiden mengatakan, kemampuan Indonesia dalam melakukan dekarbonisasi tidak dapat diragukan lagi.

Menurutnya, Indonesia memiliki potensi energi hijau yang melimpah, mencapai lebih dari 3,600 GW.

Negara ini juga memiliki Pembangkit Tenaga Listrik Surya (PLTS) Terapung di Cirata yang memiliki kapasitas 192 MW peak, yang terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ketiga di dunia.

Kepala negara menambahkan bahwa Indonesia juga memiliki potensi besar dalam penyerapan karbon.

Baca juga: Kemendikbudristek Rilis Panduan Pendidikan Perubahan Iklim

Ini melalui hutan mangrove terbesar di dunia seluas 3,3 juta hektar, yang mampu menyerap karbon 8-12 kali lebih baik dibandingkan hutan hujan tropis. Selain itu, Indonesia memiliki kawasan industri hijau seluas 13.000 hektar.

“Tapi semuanya itu tidak akan memberi dampak signifikan bagi percepatan penanganan dampak perubahan iklim selama negara maju tidak berani berinvestasi, selama riset dan teknologi tidak dibuka secara luas, dan selama pendanaan tidak diberikan dengan skema yang meringankan negara berkembang,” pungkasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Studi Sebut Mobil Murah Jauh Lebih Berpolusi
Studi Sebut Mobil Murah Jauh Lebih Berpolusi
LSM/Figur
Uni Eropa Tunda Setahun Penerapan Regulasi Deforestasi EUDR
Uni Eropa Tunda Setahun Penerapan Regulasi Deforestasi EUDR
Pemerintah
Dekan FEM IPB Beri Masukan untuk Pembangunan Afrika dengan Manfaatkan Kerja Sama Syariah
Dekan FEM IPB Beri Masukan untuk Pembangunan Afrika dengan Manfaatkan Kerja Sama Syariah
LSM/Figur
Studi: Negara-negara Kaya Kompak Pangkas Bantuan untuk Negara Miskin
Studi: Negara-negara Kaya Kompak Pangkas Bantuan untuk Negara Miskin
Pemerintah
Baru 2 Bandara Pakai BTT Listrik, Kemenhub Siapkan Revisi Standar Nasional
Baru 2 Bandara Pakai BTT Listrik, Kemenhub Siapkan Revisi Standar Nasional
Pemerintah
BRIN: Peralihan ke BTT Listrik Pangkas Emisi Bandara hingga 31 Persen
BRIN: Peralihan ke BTT Listrik Pangkas Emisi Bandara hingga 31 Persen
LSM/Figur
Etika Keadilan Masyarakat dan Iklim
Etika Keadilan Masyarakat dan Iklim
Pemerintah
Akhiri Krisis Air, Vinilon Group dan Solar Chapter Alirkan Air Bersih ke Desa Fafinesu NTT
Akhiri Krisis Air, Vinilon Group dan Solar Chapter Alirkan Air Bersih ke Desa Fafinesu NTT
Swasta
Kisah Kampung Berseri Astra Cidadap, Ubah Tambang Ilegal Jadi Ekowisata
Kisah Kampung Berseri Astra Cidadap, Ubah Tambang Ilegal Jadi Ekowisata
Swasta
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
IEA: Dunia Menjadi Lebih Hemat Energi, tetapi Belum Cukup Cepat
Pemerintah
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Intensifikasi Lahan Tanpa Memperluas Area Tanam Kunci Keberlanjutan Perkebunan Sawit
Swasta
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Industri Penerbangan Asia Pasifik Siap Penuhi Target 5 Persen Avtur Berkelanjutan
Pemerintah
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Indonesia Ingin Bangun PLTN, tapi Geopolitik Jadi Pertimbangan Utama
Pemerintah
Cerita dari Pulau Obi: Reklamasi Tambang Tak Sekadar Menanam Ulang
Cerita dari Pulau Obi: Reklamasi Tambang Tak Sekadar Menanam Ulang
Swasta
Momen Haru, Orangutan Artemis dan Gieke Kembali ke Hutan Setelah Rehabilitasi
Momen Haru, Orangutan Artemis dan Gieke Kembali ke Hutan Setelah Rehabilitasi
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau