KOMPAS.com - Negara-negara berkembang dan negara ekonomi rendah menuju level menengah tidak boleh ditinggalkan dalam investasi transisi energi global.
Hal tersebut disampaikan Penasihat Khusus dan Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Perubahan Iklim Selwin Charles Hart dalam Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (5/9/2024) yang dipantau secara daring.
Hart menyampaikan, tahun lalu investasi transisi energi dunia sangat senjang. Lebih dari 84 persen dari total investasi di dunia masuk ke China dan negara-negara berpendapatan tinggi.
Baca juga: Luhut: Transisi Energi Tergantung Konteks dan Kebutuhan Sendiri
"Sehingga, negara-negara lain di dunia telah tertinggal," papar Hart.
Dia menuturkan, kondisi tersebut menjadi fokus Sekretaris Jenderal PBB. Sebab, tidak boleh ada satu pun negara yang ditinggalkan untuk bertransisi energi untuk melawan perubahan iklim.
Hart mengajak dunia untuk memobilisasi investasi energi terbarukan ke negara berkembang dan negara ekonomi rendah menuju level menengah.
"Pendanaan publik (negara) tidak akan menjadi solusi. Yang dibutuhkan saat ini adalah memobilisasi pendanaan sektor swasta secara masif," tutur Hart.
Baca juga: Riset BNEF: Transisi Energi Terbarukan Dunia Makin Meningkat
Dengan memobilisasi pendanaan secara masif, diharapkan transisi energi di negara-negara berkembang bisa diakselerasi.
Selain itu, hambatan-hambatan yang ada dalam transisi energi bisa diselesaikan dengan investasi yang besar tersebut.
"Kita membutuhkan penguatan kerja sama antarbangsa untuk membantu negara-negara berkembang mengakselerasi transisi energi," ujar Hart.
Di satu sisi, setiap negara dan setiap wilayah memiliki kebutuhan energi yang berbeda dan spesifik. Oleh karena itu, investasi tersebut seharusnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuturkan pendanaan menjadi salah satu tantangan transisi energi, tak terkecuali di Indonesia.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Target Energi Terbarukan Capai 60 Persen
Jokowi mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang banyak dan penyerapan karbon yang besar.
Akan tetapi, kata Jokowi, semua itu tidak akan memberikan dampak signifikan bagi percepatan penanganan krisis iklim selama negara maju tidak mau investasi.
"Selama riset dan teknologi tidak dibuka secara luas dan selama pendanaan tidak diberikan dalam skema yang meringankan negara berkembang. Itu yang menjadi catatan," kata Jokowi dalam sambutannya.
Meski demikian, Jokowi menegaskan Indonesia sangat terbuka untuk bekerja sama dengan siapa pun.
"Kolaborasi bukan pilihan dan kemanusiaan bukanlah opsi, melainkan sebuah keharusan," papar Jokowi.
Baca juga: China Investasi Rp 10 Kuadriliun untuk Transisi Energi, 38 Persen dari Total Dunia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya