Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/09/2024, 17:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Setiap tahunnya, lebih dari 650 miliar dollar AS (Rp 9 kuadriliun) subsidi publik diberikan kepada perusahaan bahan bakar fosil, pertanian intensif, dan industri lainnya di negara berkembang.

Jika ditotal, jumlah subsidi tersebut akan cukup untuk membiayai pendidikan semua anak di Afrika sub-Sahara hingga 3,5 kali lipat setiap tahun.

Negara-negara maju juga secara aktif menyubsidi sektor-sektor yang berkontribusi terhadap perubahan iklim tersebut.

Baca juga: Karena Pemanasan Global, Spanyol Bisa Berubah Jadi Iklim Gurun

Temuan tersebut mengemuka dalam laporan terbaru dari ActionAid berjudul How the Finance Flows: The banks fuelling the climate crisis.

Subsidi untuk sektor-sektor tersebut selama beberapa dekade telah menjadi salah satu hambatan paling sulit untuk mengubah ekonomi global ke arah rendah karbon.

Badan Energi Internasional, Dana Moneter Internasional, Organisasi Perdagangan Dunia, dan banyak lembaga lain bahkan telah berulang kali menyerukan pengurangan subsidi terhadap sektor-sektor tersebut.

Di sisi lain, ketika harga energi melonjak, perusahaan bahan bakar fosil justru semakin meraih keuntungan yang sangat besar.

Baca juga: Separuh Penduduk Dunia Tak Punya Perlindungan Sosial di Tengah Krisis Iklim

Sebagian besar dari keuntungan tersebut diinvestasikan kembali dalam eksplorasi minyak dan gas baru, bukan energi bersih dan terbarukan.

Di banyak negara, subsidi tersebut diarahkan kepada industri yang dianggap penting secara politis, atau yang memiliki lobi yang kuat.

ActionAid menyebut, banyak subsidi tersebut disebabkan oleh "pengambilalihan perusahaan" atas pemerintah dan lembaga publik, sebagaimana dilansir The Guardian.

"Laporan ini mengungkap perilaku parasit perusahaan-perusahaan kaya," kata Sekretaris Jenderal ActionAid International Arthur Larok.

Baca juga: Perubahan Iklim Bisa Bikin Korsel Tak Produksi Kimchi Lagi

"Mereka menguras kehidupan di belahan bumi selatan dengan menyedot dana publik dan memperparah krisis iklim," sambungnya.

Di satu sisi, Larok juga menyalahkan pemerintah di negara-negara kaya.

Dia menuturkan, janji-janji pendanaan iklim oleh negara-negara kaya sama hampanya dengan retorika kosong yang telah mereka ucapkan selama beberapa puluh tahun terakhir.

"Sudah saatnya sirkus ini berakhir. Kita perlu komitmen yang tulus untuk mengakhiri krisis iklim," tuturnya.

Baca juga: PBB: Investasi Udara Bersih Selamatkan Nyawa dan Perangi Perubahan Iklim

ActionAid juga mengungkapkan, negara-negara berkembang tidak perlu mengadopsi praktik pertanian intensif dan berkarbon tinggi yang telah merusak alam dan menciptakan krisis iklim.

Organisasi tersebut menyebutkan, negara-negara berkembang dapat bergerak cepat menuju model rendah karbon yang masih memungkinkan mereka untuk tumbuh dan sejahtera.

Para penulis dalam laporan tersebut juga menyerukan diakhirinya subsidi yang merusak.

Selain itu, mereka juga menuntut lebih banyak pendanaan publik dari negara-negara kaya untuk diarahkan pada upaya rendah karbon di negara-negara berkembang.

Mereka juga menyerukan regulasi yang lebih ketat pada sektor perbankan yang mensyaratkan standar minimum untuk hak asasi manusia (HAM).

Baca juga: Perubahan Iklim Sebabkan 400 Juta Siswa Terdampak Penutupan Sekolah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Pasar Teknologi Bersih Meningkat Tiga Kali Lipat pada 2035

Pasar Teknologi Bersih Meningkat Tiga Kali Lipat pada 2035

Pemerintah
50 Diskusi dan 44 Pembicara Hadir dalam Acara Langkah Membumi Festival 2024

50 Diskusi dan 44 Pembicara Hadir dalam Acara Langkah Membumi Festival 2024

Swasta
Pusat Data Ramah Lingkungan Bantu Dorong Investasi Hijau di Asia Tenggara

Pusat Data Ramah Lingkungan Bantu Dorong Investasi Hijau di Asia Tenggara

Pemerintah
Dorong Keberlanjutan, Blibli Kembali Gelar Langkah Membumi Festival

Dorong Keberlanjutan, Blibli Kembali Gelar Langkah Membumi Festival

Swasta
Setengah Kota Besar Dunia Hadapi Risiko Iklim Parah pada 2050

Setengah Kota Besar Dunia Hadapi Risiko Iklim Parah pada 2050

Pemerintah
Jumlah Mikroplastik di Air Tawar Meningkat

Jumlah Mikroplastik di Air Tawar Meningkat

Pemerintah
Dorong Irigasi Berkelanjutan, Balai Teknik Irigasi Kementerian PU Jalin Kerja Sama dengan MRC

Dorong Irigasi Berkelanjutan, Balai Teknik Irigasi Kementerian PU Jalin Kerja Sama dengan MRC

Pemerintah
Dorong Pemakaian EV, Penempatan Stasiun Pengisian Listrik Perlu Diperhatikan

Dorong Pemakaian EV, Penempatan Stasiun Pengisian Listrik Perlu Diperhatikan

Pemerintah
Ilmuwan Peringatkan Bumi Makin Tidak Layak Huni

Ilmuwan Peringatkan Bumi Makin Tidak Layak Huni

Pemerintah
Greenpeace: Restorasi Lahan Gambut 10 Tahun Terakhir Tidak Memuaskan

Greenpeace: Restorasi Lahan Gambut 10 Tahun Terakhir Tidak Memuaskan

LSM/Figur
Presiden Prabowo Didorong Jadikan Transisi Energi Misi Nasional

Presiden Prabowo Didorong Jadikan Transisi Energi Misi Nasional

LSM/Figur
Di COP16 Kolombia, Masyarakat Sipil Desak Pemerintah RI Batasi Produksi Nikel

Di COP16 Kolombia, Masyarakat Sipil Desak Pemerintah RI Batasi Produksi Nikel

LSM/Figur
Kali Pertama dalam 130 Tahun Gunung Fuji Telat Bersalju, Pertanda Buruk?

Kali Pertama dalam 130 Tahun Gunung Fuji Telat Bersalju, Pertanda Buruk?

Pemerintah
Perubahan Iklim Bikin Ekonomi Negara Asia dan Pasifik Rugi Besar

Perubahan Iklim Bikin Ekonomi Negara Asia dan Pasifik Rugi Besar

LSM/Figur
Jaga Keanekaragaman Hayati, Masyarakat Adat Kalimantan Bersuara di COP 16

Jaga Keanekaragaman Hayati, Masyarakat Adat Kalimantan Bersuara di COP 16

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau