KOMPAS.com - Laporan baru dari C40 Cities dan Mayors Migration Council menemukan beberapa negara di dunia yang paling rentan terhadap perubahan iklim akan mengalami perombakan populasi besar-besaran.
Hal tersebut terjadi karena peristiwa lingkungan dan cuaca ekstrem mendorong banyak orang untuk bermigrasi ke kota-kota yang sudah padat yang ada di dekat perbatasan wilayah mereka sebelumnya.
Laporan itu mencontohkan banjir ekstrem di Bangladesh dapat menyebabkan sebanyak 3,1 juta orang mengungsi secara internal ke ibu kota Dhaka yang berpenduduk padat pada 2050.
Selain itu juga di Kolombia, hampir 600.000 pengungsi iklim diperkirakan akan menetap di ibu kota Bogota, di mana kekurangan air telah memengaruhi sekitar delapan juta orang penduduknya.
Mengutip Business Times, Selasa (1/10/2024) laporan ini pun menjadi salah satu yang pertama memberikan proyeksi pengungsi iklim tingkat kota di berbagai wilayah, khususnya kawasan global south.
Baca juga: 5 Kabar Baik soal Lingkungan Sepanjang September
Kawasan yang mengacu pada negara-negara di seluruh dunia yang kerap dideskripsikan sebagai negara berkembang ini memiliki dampak iklim dan tantangan perkotaannya yang lebih intens.
Laporan ini memproyeksikan tanpa pengurangan emisi karbon global yang signifikan, 10 kota besar dengan pertumbuhan tercepat di Afrika, Amerika Selatan, Asia Selatan, dan Timur Tengah dapat mengalami gelombang pengungsi dengan total delapan juta orang pada pertengahan abad ini.
Jumlah tersebut, menurut proyeksi laporan belum termasuk pengungsi ekonomi dan politik serta pengungsi dari negara lain.
“Orang-orang pindah ke kota tempat mereka dapat menemukan peluang, perumahan, dan koneksi sosial, dan mereka tidak perlu mengalami kerumitan pindah ke luar negeri untuk menemukannya,” kata Claudia Huerta, manajer senior kampanye iklim dan migrasi di C40.
Selain itu Masuknya populasi akan memberi lebih banyak tekanan pada layanan lokal dan mempercepat urbanisasi yang tidak terkendali. Kota-kota penerima juga menghadapi tantangan iklim mereka sendiri saat pengungsi masuk.
Contohnya saja, di Brasil pengungsi internal yang mengungsi akibat berbagai peristiwa seperti banjir, kekurangan air, dan hasil panen yang buruk dapat menghadapi tingkat polusi udara yang berbahaya dan kebakaran hutan dahsyat di kota tempat tinggal mereka yang baru seperti Sao Paulo atau Rio de Janeiro.
Baca juga: Mengapa Memilih Produk Ramah Lingkungan Itu Penting
"Dampak iklim yang mereka hadapi tidak kemudian hilang," tulis peneliti dalam studinya.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa jika kenaikan suhu global dibatasi hingga 1,5 derajat C sebagaimana ditetapkan oleh Perjanjian Paris, kota-kota dapat secara substansial mengurangi dampak pengungsi iklim.
Karena belum ada kemajuan yang berarti dalam pengurangan emisi, beberapa kota dalam penelitian tersebut telah bersiap menghadapi gelombang masuk penduduk.
Namun, para peneliti mengatakan beban tersebut seharusnya tidak dibebankan kepada kota-kota penerima itu sendiri, dan menyerukan kepada pemerintah serta sektor swasta untuk melakukan bagian mereka dalam mengurangi risiko iklim.
Baca juga: Penuaan Populasi, Perubahan Iklim, dan Penguasaan Teknologi
“Masalah terbesar yang perlu kita atasi untuk mengurangi dampak pengungsi iklim terhadap kota-kota adalah mengurangi emisi,” kata Jazmin Burgess, direktur aksi iklim inklusif di C40.
“Dan tanggung jawab itu tidak hanya dibebankan kepada kota-kota, tetapi menuntut tindakan dari semua orang,” tambahnya.
sumber https://www.businesstimes.com.sg/international/climate-migrants-stand-overwhelm-worlds-megacities
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya