JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Hartono Prawiraatmadja, mengatakan bahwa eksploitasi berlebihan terhadap alam telah menyebabkan banyak planetary boundaries di dunia telah terlampaui.
Sebagai informasi, planetary boundaries adalah konsep ilmiah yang mengidentifikasi batas-batas aman bagi aktivitas manusia di bumi, agar tidak mengganggu stabilitas sistem lingkungan yang menopang kehidupan.
Planetary boundaries menetapkan sembilan batas lingkungan. Jika terlampaui, dapat menyebabkan perubahan yang berbahaya bagi planet dan ekosistem global.
Baca juga: Pemerintahan Baru Didorong Prioritaskan Pembangunan Teknologi, Bukan Eksploitasi Alam
"Dari sembilan batas-batas planetary boundaries, ternyata (saat ini) enam sudah terlampaui. Sehingga kita mesti siap-siap," ujar Hartono saat sesi dialog "Sistem Penyangga Kehidupan dan Triple Planetary Crisis" dalam rangkaian Youth Conservation Fest 2024 di Jakarta yang dipantau secara online, Selasa (1/10/2024).
Keenam batas yang sudah terlampaui tersebut, salah satunya adalah perubahan iklim (climate change). Ia menjelaskan, saat ini emisi yang menutupi atmosfer sudah melampaui batas yang sudah ditetapkan sebelumnya.
"Kemudian, biodiversity loss, atau kehilangan keaneragaman hayati, ini juga sudah melampaui angka yang ditetapkan di batas aman. Kemudian, deforestasi juga sudah melampaui batas aman. Polusi juga sudah melampaui," papar dia.
Dua batas lainnya yang telah dilampaui dunia, adalah siklus nitrogen di pertanian dan siklus fosfor di perairan yang terganggu.
"Kondisi yang melampaui batas maksimum yang diizinkan ini tentu mengancam kelestarian, dan eksistensi. Enam dari sembilan sudah terlampaui, ini tentu akan membawa konsekuensi yang berat," tambahnya.
Baca juga: Emisi Gas Rumah Kaca Sebabkan El Nino Ekstrem Lebih Sering Terjadi
Oleh karena kondisi tersebut, Hartono mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya mengurangi faktor-faktor yang dapat merusak planetary boundaries. Dalam ruang lingkup kerja BRGM di bidang lahan, kata dia, pihaknya terus melakukan tiga cara.
"Pertama, pada lokasi-lokasi yang terindikasi kebakaran berulang, kami turun kemudian mencari penyebabnya apa ini sebetulnya. Jangan-jangan kebakaran itu karena konflik, konflik lahan," ujar dia.
Baca juga: Komisi UE Usulkan Label Jejak Karbon untuk Penerbangan
Pada lokasi hutan yang rawan terbakar, pihaknya melakukan rewetting, yakni proses mengembalikan tingkat kelembaban alami atau kandungan air dalam lahan, terutama pada ekosistem lahan basah seperti rawa-rawa, gambut, dan padang rumput berawa.
"Jadi dijaga agar ketika mesin kemarau tidak terlalu kering, tidak terlalu bakar," imbuhnya.
Upaya kedua, pada lahan-lahan yang berfungsi sebagai hutan lindung, BRGM melakukan penanaman untuk revegetasi agar lahan gambut itu tidak terlalu kering saat musim kemarau.
"Ketiga, kita ajak masyarakat di sekitar lahan gambut yang rawan terbakar itu untuk melakukan patroli dan pencegahan pemadaman secara dini," terang dia.
Menurutnya, tiga upaya itu dinilai cukup efektif, meski Hartono mengakui, tentu belum dpaat menyelesaikan permasalahan kebakaran atau deforestasi seluruhnya.
Baca juga: Deklarasi Jakarta: Komitmen Kesehatan dan Lingkungan Bekelanjutan
"Karena yang kami lakukan itu hanya terbatas di kawasan milik masyarakat. Sementara yang dikelola oleh konsesi perusahaan besar ini ada pendekatan sendiri, yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kementerian," tambah Hartono.
Lebih jauh lagi, pihaknya juga tengah berupaya mengembalikan sistem penyangga kehidupan, yakni interaksi antara unsur hayati dan non-hayati, agar bisa membentuk situasi yang baik bagi makhluk hidup bertahan hidup di dunia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya