KOMPAS.com - Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan untuk menghentikan pembukaan kebun sawit baru dan mengoptimalisasinya, alih-alih membuka lahan baru. Sebab, ekspansi masih besar meski daya tampung lingkungan sudah terbatas.
Deputy Director MADANI Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto menyatakan tren pengembangan sawit di Indonesia tidak berfokus pada peningkatan produktivitas sawit (intensifikasi) melainkan perluasan perkebunan sawit (ekstensifikasi).
Padahal, riset terbaru Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari MADANI Berkelanjutan, Satya Bumi dan Sawit Watch menemukan daya tampung lingkungan batas sawit di Indonesia hanya 18,15 juta hektare.
Baca juga: Investor Bulgaria dan Indonesia Kerja Sama Perdagangan Produk Turunan Kelapa Sawit 10 Juta USD
"Jika pertumbuhan industri sawit dibiarkan tanpa pengendalian, hasil perhitungan ekonomi dan ekologi menunjukkan potensi kerugian jangka panjang yang besar," ujar Giorgio dalam keterangannya, Kamis (3/10/2024).
Kerusakan lingkungan, kata dia, akan mempengaruhi hasil produktivitas sawit, yang pada akhirnya mengancam ketahanan ekonomi jangka panjang industri sawit dan bahkan ekonomi nasional.
Sebab, dampak sosial dan ekologis yang tidak terkendali akan menciptakan beban besar bagi negara.
“Bagaimana mengubah sawit menjadi lebih baik, tidak merusak dan dapat dimanfaatkan secara optimal tanpa melakukan perluasan. Konteks daya dukung dan daya tampung perlu dibunyikan. Berapa kemampuan lahan jika dikembangkan sawit? Itulah yang mendasari inisiatif riset ini," imbuhnya.
Tujuannya, kata dia, agar keberadaan atau pengembangan perkebunan sawit tidak menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dalam jangka panjang, namun tetap dapat memenuhi kebutuhan.
Baca juga: Minyak Sawit Diperebutkan Pangan dan Bahan Bakar, Lingkungan Jadi Korban
Perhitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dilakukan dengan menghitung kebutuhan manusia di suatu pulau dan bagaimana kesesuaian fisik pulau tersebut jika ditanami sawit, menggunakan pemodelan kalkulator jejak ekologis yang terdiri dari 14 variabel pembatas.
Ke-14 variabel itu terdiri dari: ketersediaan air, kesatuan hidrologis gambut (KHG), karst, mangrove, kawasan konservasi dan hutan lindung, hutan alam, resapan air, kelerengan > 30 persen, rawan bencana, habitat satwa dilindungi, key biodiversity area, jasa lingkungan hidup tinggi dan keberadaan penduduk.
Itu artinya, kesesuaian fisik lahan sawit baru dapat terpenuhi jika tidak tumpang tindih dengan variabel tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo menambahkan, penting melihat ‘cap’ sawit dalam kerangka perbaikan, bagaimana agar ini dapat mendukung industri sawit akan semakin baik dan bermanfaat serta semakin strategis.
Baca juga: ANJ Salurkan Premi Minyak Sawit Berkelanjutan Rp 442 Juta ke Petani
Dengan adanya batas atas ini, ujarnya, koalisi ingin mengatakan bahwa pengembangan sawit tidak boleh melebihi batas tersebut.
Jika melewati, maka akan ada konsekuensi yang harus diterima terutama dari berbagai sektor karena telah melampaui kemampuan lahan.
“Kami berharap pemerintahan ke depan dapat mengadopsi konsep ‘cap’ sawit ini menjadi sebuah kerangka regulasi tertentu yang titik beratnya agar tidak ada perluasan lahan sawit,” kata Rambo.
Oleh karena itu, koalisi mendorong penghentian pemberian izin baru dan pembukaan kebun sawit baru di seluruh Indonesia, serta upaya menyelesaikan persoalan sawit serta konflik lahan.
Kemudian, optimalisasi perkebunan yang ada saat ini, hingga evaluasi perizinan kebun sawit yang terindikasi bermasalah secara administrasi perizinan, tata ruang, dan legalitas lahan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya