KOMPAS.com - Mangrove sebagai ekosistem penyimpan karbon yang tinggi, dapat menambah nilai manfaat jika dirawat sebagai suatu ekowisata.
Dengan kemampuan menyimpan karbon 2-10 kali lipat lebih banyak daripada hutan biasa, mangrove yang dijadikan ekowisata dapat menjadi solusi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, sekaligus menambah nilai ekonomi.
Beberapa desa di Indonesia yang melestarikan mangrove untuk ekowisata adalah di Desa Budeng, Bali Barat; Desa Uwedikan, Sulawesi Tengah; Desa Darunu, Minahasa Utara; dan Desa Golo Sepang, Manggarai Barat.
Baca juga: Potensi Besar Perikanan dan Ekowisata di Natuna, Terganjal Akses
Desa-desa tersebut merupakan desa yang berada di bawah pendampingan Yayasan Pesisir Lestari yang menjalankan program peningkatan kapasitas lokal, peningkatan mata pencaharian, hingga meningkatkan kapasitas masyarakat untuk akses pembiayaan berkelanjutan.
Di Desa Budeng di Kabupaten Jembrana, Bali, misalnya. Desa tersebut memiliki kawasan mangrove seluas 89,39 hektare (ha). Dari keseluruhan luasan, ada sekitar 25 ha yang dikelola dan dikembangkan oleh Kelompok Tani Hutan Wana Mertha.
Penanaman mangrove di Desa Budeng telah dilakukan sejak tahun 2007, dan pada tahun 2011, dimulailah pengelolaan oleh KTH Wana Mertha.
“KTH Wana Mertha mengelola kawasan mangrove di desa Budeng dengan tiga fokus utama, yaitu ekowisata, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan silvofishery sebagai bentuk pelestarian mangrove,” ujar Ketua KTH Wana Mertha, I Putu Madiasa, dalam pernyataannya, Rabu (4/9/2024).
Baca juga: Konsep Ekowisata di Banyuwangi Bantu Lawan Perubahan Iklim
Salah satu pemanfaatan ekowisata berbasis mangrove yang dilakukan adalah kuliner Warung Mangrove.
"Warung Mangrove menawarkan suasana makan yang unik dengan pemandangan hutan mangrove dan menyajikan beragam menu yang berasal dari hasil tangkapan masyarakat yang kemudian dimasak oleh kelompok perempuan Desa Budeng," tuturnya.
Untuk mendukung keberlanjutan ekowisata di Desa Budeng, Pesisir Lestari bersama dengan KTH Wana Merta melakukan analisis usaha yang akan menjadi dasar perencanaan kegiatan usaha yang berkelanjutan.
Pendekatan community-led development dalam memperluas manfaat ekowisata, dilakukan dengan memasukkan unsur edukasi bagi pengunjung kawasan dan masyarakat sekitar mengenai pelestarian mangrove.
Baca juga: Monash University, UI, dan Pemprov Jabar Rilis Rencana Induk Ekowisata Citarik
Warung Mangrove di desa Budeng memainkan peran penting bagi keberlanjutan pelestarian mangrove di desa Budeng. KTH memasarkan produk-produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) miliknya, seperti Teh Donju, Kripik Mangrove, dan Pil Mangrove di warung tersebut.
"Ketiga produk ini masih berskala rumah tangga dan diproduksi oleh bersama masyarakat sekitar dengan memanfaatkan daun dan buah mangrove," ujar Putu Madiasa.
Kawasan mangrove Budeng yang kaya akan biota seperti ikan, udang, kepiting bakau, dan kerang, juga ditangkap dan dikumpulkan masyarakat untuk dijual maupun dikonsumsi.
"Pemanfataan dan pelestarian mangrove secara kolaboratif meluaskan manfaat tak hanya di desa Budeng namun juga ke desa sekitarnya," imbuhnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya