KOMPAS.com - Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai, sistem ekonomi restoratif cocok diterapkan di Indonesia. Sebab, sistem ini dapat memberikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudistira mengatakan, sejauh ini, belum ada sistem ekonomi yang berhasil mewujudkan pemerataan dan kemakmuran di Indonesia.
Padahal, Indonesia sejak awal merdeka telah berupaya membangun perekonomian dengan berbagai sistem. Mulai dari imaji ekonomi warisan undang-undang dasar yang sangat sosialis sampai ke upaya membuka keran besar bagi modal asing.
Baca juga: Kemiskinan Naik di Daerah Tambang, Pertumbuhan Ekonomi Hanya di Atas Kertas
"Sudah saatnya Indonesia menemukan kekuatannya sendiri, tanpa mengikuti model ekonomi mainstream," ujar Bhima dalam peluncuran buku Ekonomi Era Krisis Iklim, di Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Dalam studinya, CELIOS mendefinisikan ekonomi restoratif sebagai model ekonomi yang bertujuan memulihkan ekosistem terdegradasi untuk mendapatkan kembali fungsi ekologis dan menyediakan barang serta jasa yang bernilai bagi masyarakat
“Kalau pemerintah tidak akui ini model ekonomi yang Indonesia banget dan proven, inilah kerugian kita,” tegas Bhima dalam pernyataan tertulis.
Menurutnya, model ekonomi Indonesia yang terbukti berhasil tahan terhadap krisis, seperti krisis moneter 1998 dan pandemi COVID-19, adalah ekonomi yang tumbuh dari masyarakat lokal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Inilah wujud ekonomi yang tak hanya memeratakan kesejahteraan, tapi juga memulihkan alam karena menghindar dari upaya-upaya ekstraksi besar-besaran seperti penambangan dan perkebunan monokultur yang masif," tambah Bhima.
Baca juga: Pemerintah Sebut Peran Pekerjaan Perawatan Dukung Pertumbuhan Ekonomi
Bhima juga mempertanyakan model ekonomi ekstraktif yang dianggap solutif oleh sebagian pihak.
Menurut hasil penelitian CELIOS, desa yang memiliki basis pendapatan ekstraktif dari penambangan misalnya, cenderung susah mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Lebih parah lagi, ketergantungan pada komoditas seperti nikel dan batubara, yang harganya fluktuatif can cenderung terus menurun, membuat ekonomi Indonesia rentan dikendalikan oleh eksternal.
"Ekonomi ekstraktif tidak hanya destruktif, tetapi juga merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat," tegas Bhima.
Sementara, pengamat ekonomi Harryadin Mahardika menjelaskan dilema Indonesia memilih model ekonomi.
"Indonesia ingin industrialisasi, tetapi kenyataannya tidak mudah karena sudah tertinggal dari efisiensi industri Cina, India atau Vietnam," kata dia.
Oleh karena itu, Indonesia saat ini tampak mengejar kekayaan dengan strategi ekstraksi sumber daya dan hilirisasi. Menurut dia, ini adalah langkah pragmatis tapi realistis dari pemerintahan Joko Widodo yang segera berlalu.
Baca juga: Pemerintah Jadi Pendorong Utama Model Ekonomi Sirkular
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya