KOMPAS.com - Studi terbaru dari peneliti World Weather Attribution (WWA) di Imperial College London mengemukakan, perubahan iklim akibat ulah manusia memicu 10 peristiwa cuaca ekstrem paling mematikan.
Para peneliti menyebut, fenomena itu terjadi dalam 20 tahun atau dua dekade terakhir. Pendiri WWA Friederike Otto menilai, analisis tersebut harus membuka mata negara-negara yang masih bergantung pada bahan bakar fosil.
"Jika kita terus membakar minyak, gas dan batu bara, penderitaan akan terus berlanjut," ujar Otto dikutip dari BBC, Kamis (31/10/2024).
Baca juga:
Studi ini berfokus pada 10 peristiwa cuaca paling mematikan dalam daftar International Disaster Database, sejak 2004.
Disebutkan bahwa peristiwa paling mematikan ialah kekeringan di Somalia pada 2011, yang menewaskan lebih dari 250.000 orang.
Dalam studinya, para peneliti menemukan curah hujan rendah menyebabkan kekeringan menjadi lebih ekstrem. Selain itu, gelombang panas di Prancis pada 2015 disebut disebabkan karena perubahan iklim.
Kondisi ini mengakibatkan lebih dari 3.000 orang meninggal dunia. Gelombang panas yang menghantam Eropa pada 2022 pun menewaskan 53.000 orang, akibat perubahan iklim.
Kemudian, siklon tropis di Bangladesh pada 2007, Myanmar pada 2008 dan Filipina pada 2013 diperparah oleh perubahan iklim. Demikian pula pada banjir yang melanda India di 2013.
Lalu, dua banjir besar di Libya pada 2023 menewaskan sekitar 12.000 orang dan di India menewaskan sekitar 6.000 orang pada 2013.
Para peneliti turut mengungkap Siklon Tropis Sidr di Bangladesh pada 2007, merupakan bencana akibat cuaca ekstrem paling mematikan yang membunuh 4.000 orang.
Otto dan ahli iklim Geert Jan van Oldenborgh menyampaikan, cuaca ekstrem menjadi lebih berbahaya karena perubahan iklim.
Mereka kemudian membandingkan seberapa besar kemungkinan kejadian yang sama terjadi, dengan atau tanpa pemanasan global 1,2 celsius yang telah dialami dunia sejak revolusi industri.
Baca juga:
"Banyaknya kematian yang terus kita lihat karena cuaca ekstrem menunjukkan bahwa kita tidak siap untuk pemanasan setingkat 1,3 derajat celsius, apalagi 1,5 celsius atau 2 celsius," ungkap staf Red Cross Red Crescent Climate Centre Roop Singh.
Dia berpendapat, studi terbaru memperlihatkan perlunya semua negara bersiap membangun ketahanan terhadap perubahan iklim.
"Dengan setiap kenaikan suhu, kita akan melihat lebih banyak lagi peristiwa (karena krisis iklim) yang mendorong banyak negara ke tepi jurang kehancuran, tidak peduli seberapa siap mereka," ucap Singh.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya