KOMPAS.com - Studi internasional telah menunjukkan bahwa kebanyakan orang, termasuk mereka yang berada di wilayah paling terdampak oleh perubahan iklim tidak memahami istilah keadilan iklim.
Namun mereka menyadari adanya ketidakadilan sosial, historis, dan ekonomi yang menjadi ciri krisis iklim, meski mereka secara tidak sadar menghubungkan pemahaman tersebut.
Mengutip Phys, Selasa (22/10/2024) dalam studi ini, peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Nottingham, Inggris menyurvei 5627 orang dewasa di 11 negara untuk menilai wawasan mereka mengenai konsep keadilan iklim.
Ke-11 negara yang terlibat dalam survei adalah Australia, Brasil, Jerman, India, Jepang, Belanda, Nigeria, Filipina, Uni Emirat Arab, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.
Baca juga:
Ini adalah studi pertama yang meneliti pemahaman publik tentang perubahan iklim di luar Eropa dan Amerika Utara.
Hasil studi mengungkap dua pertiga orang di negara tersebut belum pernah mendengar tentang keadilan iklim.
Namun, mayoritas orang yang disurvei mendukung keyakinan terkait keadilan iklim, termasuk gagasan bahwa orang yang lebih miskin menderita dampak yang lebih buruk dari perubahan iklim (78 persen setuju).
Sementara itu, orang-orang dari komunitas yang paling terdampak harus memiliki lebih banyak suara dalam keputusan mengenai perubahan iklim (78 persen), dan bahwa kapitalisme serta kolonialisme merupakan elemen dasar dari krisis iklim (70 persen).
Dukungan terhadap keyakinan terkait keadilan iklim ini juga dikaitkan secara positif dengan keterlibatan dalam tindakan iklim dan dukungan untuk kebijakan iklim yang adil.
Apa Itu Keadilan Iklim?
Keadilan iklim sendiri secara luas mencakup pengakuan bahwa dampak perubahan iklim dirasakan secara tidak merata di seluruh masyarakat, kelompok yang paling terdampak sering kali memiliki suara paling sedikit dalam pemilihan dan implementasi respons masyarakat terhadap perubahan iklim.
Lalu yang terakhir adalah proses pembuatan kebijakan terkait perubahan iklim sering kali gagal mengenali kepentingan sah masyarakat yang tidak memiliki suara politik, sehingga berkontribusi pada semakin hilangnya hak pilih kelompok yang terpinggirkan.
Baca juga:
"Memperhitungkan keadilan iklim saat kita menanggapi perubahan iklim adalah kunci untuk mengarahkan masyarakat kita ke solusi yang adil dan setara," ungkap Dr. Charles Ogunbode, Asisten Profesor Psikologi Terapan di Universitas Nottingham, Inggris, yang memimpin studi ini.
Menurutnya, negara-negara yang rentan terhadap iklim, sebagian besar terbatas justru menjadi subjek wacana iklim, bukan peserta aktif.
"Dengan mengungkap dukungan luas terhadap prinsip-prinsip keadilan iklim di seluruh dunia, kami berharap para pendukung iklim akan memanfaatkan penelitian kami untuk lebih menekan para pembuat kebijakan dan pemimpin untuk memberlakukan tanggapan yang adil terhadap krisis iklim," tambahnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya