KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia berencana membangun pembangkit listrik dengan kapasitas 100 gigawatt (GW).
Dari jumlah itu, 75 persen di antaranya merupakan energi terbarukan hingga dan membutuhkan investasi mencapai 235 miliar dollar AS atau Rp3.710 triliun.
Rencana ini disampaikan Ketua Delegasi RI untuk KTT Iklim COP29 Hashim S Djojohadikusumo di Baku, Azerbaijan, Selasa (12/11/2024).
Baca juga: PT BJA Tanam 11 Juta Pohon Gamal untuk Kembangkan Energi Baru Terbarukan
Di sisi lain, lembaga think tank Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pembangunan energi terbarukan harus diikuti oleh pemensiunan energi fosil, termasuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan, setiap rencana pembangunan energi terbarukan harus disertai strategi mengurangi bertahap dan penghapusan bertahap PLTU batu bara paling lambat 2045.
Hal tersebut perlu dilakukan agar selaras dengan target pembatasan kenaikan temperatur 1,5 derajat celsius sesuai Perjanjian Paris.
Kombinasi tersebut dinilai krusial dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan dekarbonisasi sektor kelistrikan pada 2050.
Baca juga: Energi Terbarukan di Pulau Bando Bisa Dicontoh Kawasan Konservasi Lain
Fabby menyampaikan, selama ini, implementasi dari rencana pembangunan energi terbarukan di Indonesia masih jauh panggang dari api.
"Walaupun rencana besar sering kali diumumkan, IESR mencatat bahwa implementasinya masih jauh dari target yang dicanangkan. Ini terlihat dari kegagalan Indonesia mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025," kata Fabby, dilansir dari siaran pers, Kamis (14/11/2024).
Fabby mendesak pemerintah tidak hanya menyampaikan target fantastis di forum international, tetapi juga memastikan implementasi serta upaya konkret dalam menyingkirkan berbagai hambatan dan tantangan.
Dengan demikian, target yang ditetapkan dapat benar-benat tercapai dan bukan sekadar wacana.
IESR juga mendorong Indonesia untuk fokus mengembangkan energi terbarukan dengan pilihan biaya yang paling murah dan dengan keandalan pasokan yang optimal dan teknologi yang andal.
Baca juga: Desentralisasi Energi Terbarukan Butuh Penguatan Inklusi Gender
Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengungkapkan, rencana Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi nuklir harus memperhatikan kesiapan institusi, kesiapan dan keandalan teknologi dan biaya investasi, biaya sosial, serta risiko lainnya.
Deon menyampaikan, berdasarkan penghitungan IESR, Indonesia bisa membangun 120 GW energi terbarukan hingga 2030 mengandalkan surya dan angin.
Dua pembangkit energi terbarukan tersebut dapat lebih cepat dibangun, murah, dan rendah risiko keterlambatan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya