Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 26 November 2024, 16:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Negara-negara berkembang membutuhkan pendanaan iklim yang tidak membebani perekonomian mereka, termasuk skema yang disepakati dalam KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, yang berakhir beberapa waktu lalu.

Hal tersebut disampaikan ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira sebagaimana dilansir Antara, Selasa (26/11/2024).

Sebelummya, COP29 menyepakati agar negara maju memberikan pembiayaan iklim dalam dalam skema bernama New Collective Quantified Goal (NCQG) senilai 300 miliar dolar AS (sekitar Rp 4,7 triliun) per tahun untuk negara berkembang.

Baca juga: Pendanaan Iklim COP29 Dapat Digunakan untuk Pensiunkan PLTU

Bhima menuturkan, pendanaan tersebut juga perlu diadopsi Indonesia untuk membuka ruang pendanaan transisi energi yang lebih progresif dibandingkan dengan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).

Pasalnya, jelas Bhima, pembiayaan melalui JETP lebih banyak berupa utang. Hal tersebut dikhawatirkan justru menjadi beban fiskal Indonesia.

Menurutnya, skema pembiayaan yang lebih progresif sangat krusial agar upaya mitigasi krisis iklim tidak membebani perekonomian negara berkembang, seperti Indonesia.

"Pemanfaatan dana publik dari negara maju berbentuk hibah yang lebih besar dan opsi penghapusan utang penting untuk memberikan ruang fiskal bagi percepatan transisi energi," kata Bhima.

Baca juga: COP29: Aksi iklim yang Fokus pada Kesehatan Harus Segera Dilakukan

Ia mencontohkan NCQG dapat digunakan untuk proyek penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang terhambat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selain itu, pembiayaan NCQG berupa hibah juga dapat digunakan untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik berbasis surya, mikro hidro, dan angin, transmisi, serta baterai penyimpanan.

Di sisi lain, Thomas Houlie selaku Climate and Energy Policy Analyst dari Climate Analytics menyebut pembiayaan iklim yang disepakati pada COP29 sebetulnya lebih rendah dari yang dibutuhkan negara-negara berkembang.

Mengacu kepada draf NCQG, pembiayaan yang dibutuhkan negara berkembang dalam Nationally Determined Contributions (NDCs) mereka mencapai 5 sampai 6,8 triliun dollar AS hingga 2030.

Baca juga: Lebih dari 50 Negara Berkomitmen untuk Pariwisata Ramah Iklim

"Negara-negara maju menolak bekerja sama dan justru membongkar omong kosong mereka tentang urgensi situasi saat ini," jelas Houlie.

"Apa yang disebut sebagai peta jalan oleh Presidensi COP29 untuk mencapai 1,3 triliun dollar AS per tahun pada 2035 masih belum jelas dan tidak ada jalur yang jelas untuk menuju ke sana," sambungnya.

Negosiasi terkait NCQG menjadi topik utama dalam pembahasan COP29 di Baku, Azerbaijan.

NCQG merupakan target pembiayaan iklim yang akan menggantikan komitmen pembiayaan iklim sebelumnya sebesar 100 miliar dollar AS per tahun sejak disepakati pada COP15 pada 2009.

Baca juga: COP29: Teknologi Digital dan AI Dapat Tingkatkan Aksi Iklim

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Akademisi IPB Sebut Hutan Adat Bisa Tekan Emisi Gas Rumah Kaca dan Krisis Iklim
Akademisi IPB Sebut Hutan Adat Bisa Tekan Emisi Gas Rumah Kaca dan Krisis Iklim
Pemerintah
CIMB Niaga Salurkan 'Green Financing' Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
CIMB Niaga Salurkan "Green Financing" Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
Swasta
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau