KOMPAS.com - Ketika KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan berakhir, berbagai suara kekecewaan terdengar di seluruh dunia.
Dalam konferensi yang dihadiri hampir 200 negara tersebut, negara-negara maju menetapkan target baru untuk menggalang setidaknya 300 miliar dollar AS (sekitar Rp 4,7 kuadriliun) per tahun bagi negara berkembang hingga 2035.
Target ini akan dikumpulkan melalui berbagai sumber, termasuk pembiayaan publik serta perjanjian bilateral dan multilateral.
Namun, para ahli dan pejabat dari negara berkembang serta negara-negara rentan mengecam janji baru ini sebagai "pengkhianatan" dan "lelucon" karena dinilai sangat sedikit.
Sejumlah para pakar dan advokat mengkritik kesepakatan akhir COP29 yang dinilai jauh dari cukup untuk menghadapi krisis iklim, ancaman terbesar bagi umat manusia.
Sementara itu, beberapa pihak mengakui kelemahan kesepakatan tersebut, tetapi memandangnya sebagai pencapaian politik maksimal yang realistis saat ini.
Baca juga: Pendanaan Iklim COP29 Dapat Digunakan untuk Pensiunkan PLTU
Iskander Erzini Vernoit, salah satu pendiri dan direktur Imal Initiative for Climate and Developmen, mengatakan kasil KTT COP29 ini adalah keputusan paling tidak berimbang yang pernah ada.
"Kesepakatan ini adalah pengkhianatan terhadap mereka yang paling rentan, terhadap Perjanjian Paris, dan terhadap logika," ujarnya kepada Anadolu, sebagaimana dilansir Antara, Kamis (28/11/2024).
Vernoit menjelaskan teks kesepakatan ini sepenuhnya dirancang berdasarkan posisi negara maju, yang menjadi pukulan telak bagi negara berkembang dan kepentingan Belahan Bumi Selatan.
Kesepakatan ini, lanjutnya, merepresentasikan kemunduran karena target pendanaan tidak lagi hanya melibatkan negara maju yang mendanai negara berkembang, melainkan menjadi target kolektif di mana negara maju hanya memimpin.
"Ini adalah pukulan besar terhadap prinsip keadilan dan tanggung jawab bersama tetapi berbeda," tegas Vernoit.
Baca juga: COP29 Resmi Berakhir, Ini 6 Rangkumannya
Ia juga menyoroti kekecewaan besar dari para negosiator negara-negara Belahan Bumi Selatan yang merasa sangat dirugikan oleh keputusan ini.
"Negara-negara maju berhasil lolos dengan jumlah dana yang sangat tidak memadai, memastikan bahwa negara-negara berkembang harus menanggung sebagian besar biaya perubahan iklim sendiri," ujar Belahan Bumi Selatan.
Selain itu, bahasa dalam kesepakatan itu dianggap tidak jelas terkait kualitas pendanaan, yang berpotensi berujung pada pinjaman dengan suku bunga pasar.
Vernoit juga mengkritik jangka waktu target pendanaan, mengingat dunia menghadapi dekade krusial hingga 2030, sehingga target pada 2035 dianggap terlalu terlambat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya