KOMPAS.com - Tiga perempat alias lebih dari separuh tanah di muka Bumi ini akan mengalami pengeringan secara permanen dalam beberapa puluh tahun mendatang.
Temuan tersebut mengemuka dalam laporan terbaru UN Convention to Combat Desertification (UNCCD) yang dirilis dalam Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) di Riyadh, Arab Saudi, Senin (9/12/2024).
Laporan berjudul The Global Threat of Drying Lands: Regional and global aridity trends and future projections tersebut mengemukakan, selama 30 tahun terakhir, 77,6 persen daratan Bumi mengalami kondisi yang lebih kering dibandingkan periode 3 dekade sebelumnya.
Baca juga: Gandeng Kemenparekraf, SCG Beri Pelatihan Pembuatan Kue Lele Kering di Desa Sukamaju Sukabumi
Selama 30 tahun terakhir pula, luas tanah yang mengering meningkat menjadi 4,3 juta kilometer persegi, alias lebih besar daripada luas India.
Dalam beberapa puluh tahun terakhir, 7,6 persen daratan Bumi juga dilaporkan melewati ambang batas kekeringan yaitu dari lahan tidak kering menjadi lahan kering, atau dari kelas lahan kering yang kurang kering ke kelas yang lebih kering.
Sekretaris UNCCD Ibrahim Thiaw mengatakan, laporan tersebut mengungkapkan apa yang selama ini dipertanyakan oleh banyak pihak mengenai pengeringan yang terjadi.
"Untuk pertama kalinya, krisis kekeringan telah didokumentasikan dengan kejelasan ilmiah, yang mengungkap ancaman nyata yang memengaruhi miliaran orang di seluruh dunia," kata Thiaw dikutip dari siaran pers.
Baca juga: 7 Provinsi Jadi Proyek Pengembangan Kawasan Lahan Kering Hortikultura
Thiaw menambahkan, kekeringan merupakan transformasi permanen yang tidak henti.
"Ketika iklim suatu daerah menjadi lebih kering, kemampuan untuk kembali ke kondisi sebelumnya hilang. Iklim yang lebih kering kini memengaruhi lahan yang luas," ujar Thiaw.
Tanah yang mengering dapat memberikan dampak yang berat terhadap pertanian, ekosistem, dan masyarakat yang tinggal di sana.
Daerah yang paling terdampak oleh tren pengeringan ini meliputi hampir seluruh Eropa yakni hampir 95,9 persen daratannya.
Wilayah lain yang terdampak adalah Amerika Serikat (AS) bagian barat, Brasil, sebagian Asia (terutama Asia timur), dan Afrika bagian tengah.
Baca juga: BMKG Sebut Kemarau Mulai Landa Nusa Tenggara dan Bali, Lebih Kering dari Biasanya
Di Eropa, wilayah Mediterania dan selatan bakal menghadapi masa depan yang suram karena kondisi semikering semakin meluas.
Di AS bagian barat dan Brasil, tren pengeringannya cukup signifikan. Kelangkaan air dan kebakaran hutan menjadi bahaya yang terus-menerus terjadi.
Untuk Afrika Tengah dan sebagian Asia, degradasi ekosistem dan penggurunan akan membahayakan banyak spesies di kawasan dengan kenakearagaman hayati yang tinggi tersebut.
Laporan tersebut juga menyebut Sudan Selatan dan Tanzania sebagai negara dengan persentase tanah terbesar yang menuju kekeringan permanen.
Lahan kering yang meluas membuat ekosistem dan penduduk yang tinggal di sana menderita akibat dampak kekeringan yang mengancam jiwa.
Baca juga: BMKG Sebut Kemarau Mulai Landa Nusa Tenggara dan Bali, Lebih Kering dari Biasanya
Sekitar 25 persen populasi dunia atau 2,3 miliar orang diperkirakan tinggal di wilayah yang akan mengalami kekeringan permanen.
Laporan tersebut menyerukan solusi adaptif dan berkelanjutan untuk mengatasi kekeringan dan adaptasinya.
Setidaknya ada lima rekomendasi yang diserukan laporan tersebut untuk mengatasi kekeringan.
Pertama, memperkuat pemantauan kekeringan. Kedua, meningkatkan praktik alih fungsi lahan yang berkelanjutan. Ketiga, berinvestasi di efisiensi penggunaan air.
Keempat, membangun ketahanan terhadap komunitas rentan. Kelima, mengembangkan kerja sama dan kerangka kerja internasional dalam mengatasi kekeringan yang meluas.
Baca juga: Sawah di Tujuh Desa Juwiring Klaten Tak Lagi Kering, Ini Solusinya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya