KOMPAS.com - Studi yang diterbitkan dalam jurnal Science menemukan, 44 persen sungai hilir terbesar di dunia mengalami penurunan jumlah aliran air setiap tahunnya.
Dikutip dari CNN, Jumat (13/12/2024), tim peneliti memetakan aliran air di setiap sungai setiap hari selama 35 tahun terakhir. Mereka mengombinasikan data satelit dan pemodelan komputer.
"Sungai-sungai seperti Sungai Kongo, sungai terbesar kedua di Afrika, Sungai Yangtze di Tiongkok, dan Sungai Plata di Amerika Selatan mengalami penurunan yang signifikan," ujar penulis utama studi dari University of Cincinnati Dongmei Feng.
Baca juga: Karena Perubahan Iklim, Sungai Jadi Mengering Lebih Cepat
Sedangkan, 17 persen sungai kecil di hulu terutama di kawasan pegunungan justru mengalami peningkatan aliran air.
Tim peneliti menyebut, kegiatan manusia dan krisis iklim yang didorong penggunaan bahan bakar fosil mengubah pola curah hujan lalu mempercepat pencairan salju.
Profesor teknik sipil dan lingkungan di UMass Amherst sekaligus peneliti Colin Gleason mengungkapkan, studi sebelumnya cenderung mengamati aliran air di sungai-sungai besar yang menghasilkan temuan terbatas pada lokasi dan waktu tertentu.
"Metode yang digunakan dalam penelitian ini memungkinkan peneliti untuk melihat semua tempat sekaligus. Kami pikir ini kemungkinan peta aliran sungai paling akurat yang pernah dibuat," ucap Gleason.
Dalam studinya, para peneliti menyatakan bahwa penurunan jumlah aliran air di sungai hilir mengartikan lebih sedikit air yang tersedia. Dampaknya, lebih sedikit air tawar untuk diminum manusia, mengairi tanaman, ataupun untuk ternak.
Aliran yang lebih lambat juga menandai sungai memiliki daya yang mulai kecil untuk mengangkut sedimen berupa tanah dan batu kecil.
Mereka mencatat, sungai-sungai kecil banyak dipengaruhi meningkatnya pencairan es dan salju akibat pemanasan global. Aliran yang lebih cepat berdampak positif yakni menyediakan nutrisi serta membantu migrasi ikan.
Baca juga: Musim Panas Terhangat, Kedalaman Sungai Terpanjang di Polandia Pecahkan Rekor Terendah
Kendati begitu, terlalu cepatnya aliran air bisa mengganggu pembangkit listrik tenaga air di daerah seperti Himalaya karena banyak sedimen yang terbawa ke hilir lalu berpotensi menyumbat infrastruktur.
Sementara itu, profesor dari University of Reading Hannah Cloke menekankan cakupan penelitian yang luas untuk memasukkan data sungai terkecil sangat penting.
"Beberapa banjir paling mematikan tidak selalu terjadi di sungai besar yang Anda duga," kata Cloke.
"Sebaliknya, sering kali terkait dengan sungai kecil atau bahkan sungai kering yang tiba-tiba terisi air dan menyapu manusia, mobil, dan bangunan," imbuh dia.
Menurutnya, penelitian lebih dalam dibutuhkan untuk mengetahui penyebab mengapa aliran sungai berubah begitu cepat sekaligus mencari solusinya.
Baca juga: 10 Sungai Terpanjang di Indonesia, Mayoritas di Kalimantan
"Melindungi sungai berarti mengurangi pembakaran bahan bakar fosil, beradaptasi dengan perubahan yang sudah tidak dapat dihindari, dan merespons dampak dari tindakan manusia," jelas Cloke.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya