KOMPAS.com - 2023 menjadi tahun di mana sungai di seluruh dunia mengering dengan kecepatan paling tinggi selama 30 tahun terakhir.
Temuan tersebut mengemuka dalam laporan State of Global Water Resources terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Pada 2023, lebih dari 50 persen daerah tangkapan air sungai global menunjukkan kondisi abnormal, sebagian besar mengalami defisit. Hal serupa terjadi pada tahun 2022 dan 2021.
Baca juga: Antarktika Semakin Menghijau karena Perubahan Iklim
Daerah yang menghadapi kekeringan parah serta kondisi debit sungai rendah yakni sebagian besar wilayah Amerika Utara, Tengah, dan Selatan.
Di Asia dan Oseania, cekungan sungai Gangga, Brahmaputra, dan Mekong yang besar mengalami kondisi lebih rendah dari normalnya.
WMO memperkirakan, kondisi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan iklim, sebagaimana dilansir The Guardian, Senin (7/10/2024).
Tahun 2023 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat, sungai-sungai mengering dan sejumlah negara menghadapi kekeringan.
Menurut WMO, kondisi ekstrem tersebut juga dipengaruhi oleh fenomena El Nino.
Baca juga: Perubahan Iklim Tingkatkan Kekerasan terhadap Perempuan
Di sisi lain, sejumlah ilmuwan mengatakan krisis iklim memperburuk dampak El Nino dan membuatnya semakin sulit diprediksi.
Di samping itu, perubahan iklim juga menyebabkan hujan yang turun menjadi ekstrem. Sekalinya turun hujan, air yang jatuh sangat deras hingga memicu bencana banjir bandang di berbagai wilayah.
Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo mengatakan, air menjadi salah satu indikator perubahan iklim.
"Kami menerima sinyal bahaya dalam bentuk curah hujan yang semakin ekstrem, banjir, dan kekeringan yang menimbulkan dampak besar pada kehidupan, ekosistem, dan ekonomi. Mencairnya es dan gletser mengancam keamanan air jangka panjang bagi jutaan orang," kata Saulo.
Saulo menuturkan, karena suhu Bumi meningkat, siklus hidrologi menjadi lebih cepat.
Baca juga: Perencanaan Kebijakan Harus Pahami Perubahan Iklim Regional
Atmosfer yang lebih hangat menahan lebih banyak uap air yang menyebabkan hujan lebat. Penguapan dan pengeringan tanah yang lebih cepat memperburuk kondisi kekeringan.
Siklus ini juga menjadi lebih tidak menentu dan tidak dapat diprediksi karena pemanasan global.
"Dan kita menghadapi masalah yang semakin besar, baik berupa terlalu banyak atau terlalu sedikit air," ucap Saulo.
Saat ini, 3,6 miliar orang menghadapi akses air yang tidak memadai setidaknya selama satu bulan dalam setahun.
Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 5 miliar pada tahun 2050, menurut laporan UN Water.
Baca juga: Kota-kota di Dunia Tidak Siap Hadapi Dampak Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya