KOMPAS.com - Keuangan berkelanjutan telah menjadi praktik yang wajib untuk dikembangkan oleh lembaga jasa keuangan, perusahaan publik, dan emiten pada usahanya.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tahun 2017 yang juga mewajibkan perusahaan publik untuk melaporkan kinerja berkelanjutannya setiap tahun.
Climate Change and Sustainability Services Leader dari EY Indonesia, Albidin Linda, mengatakan, implementasi kedua inisiatif tersebut tidak hanya dilakukan sebagai aksi kepatuhan kepada pemerintah, tetapi juga memiliki peran penting dalam transisi Indonesia menuju nol emisi (net zero emissions).
“Berdasarkan POJK Nomor 51 Tahun 2017, produk keuangan berkelanjutan merupakan produk yang mengintegrasikan aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan tata kelola (LST) dalam fitur-fiturnya,” ujar Albidin dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Kamis (12/12/2024).
Albidin melanjutkan, prinsip utama produk keuangan berkelanjutan adalah kewajiban untuk menyalurkan seluruh dana yang terkumpul untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tema LST tersebut.
Baca juga: Metode Penghitungan Karbon Perlu Disatukan untuk Capai Net Zero Emission
Adapun produk atau instrumen keuangan yang berlaku saat ini untuk pencatatan di Bursa Efek Indonesia tertuang dalam POJK Nomor 18 Tahun 2023, yaitu Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk (EBUS) Lingkungan, Sosial, Keberlanjutan, dan Sukuk Wakaf.
“Ada pula bentuk instrumen keuangan lain yang dikembangkan sesuai dengan strategi keuangan berkelanjutan perusahaan terkait. Sebagai contoh, pinjaman hijau, kredit pemilikan rumah (KPR) hijau, dan deposito hijau,” terang Albidin.
Lebih lanjut, Albidin menjelaskan, implementasi keuangan berkelanjutan turut membuka pintu peluang dari berbagai sisi. Dari sisi penerbit, misalnya, produk keuangan berkelanjutan dapat menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan upaya dalam menginisiasi proyek-proyek berkelanjutan.
Selain itu, investor semakin menyadari bahwa kinerja LST yang baik dapat menjadi salah satu indikator yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
“Hal tersebut terlihat dari survei global dari EY terhadap investor, The EY Corporate Reporting and Institutional Investor Survey 2022, di mana 99 persen dari investor menggunakan pelaporan LST dalam proses pengambilan keputusannya,” kata Albidin.
Baca juga: Sebut PBB Hargai Sikap Indonesia soal Climate Change, Prabowo: Kita Harap Net Zero Emission
Survei EY global serupa yakni EY Sustainable Value Study 2023 juga menyebutkan bahwa perusahaan yang mengedepankan aksi untuk mengatasi perubahan iklim akan 1,8 kali berpotensi melaporkan nilai finansial yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang kurang aktif berpartisipasi.
Di sisi lain, keuangan berkelanjutan juga mendorong pertumbuhan proyek hijau dan proyek yang mendukung LST. Hal ini dikarenakan sumber pendanaan yang sudah semakin beragam, baik dari bank, investor institusional, pasar modal, ataupun organisasi non-profit.
“International Capital Market Association (ICMA) sebagai penerbit standar global atas utang berwawasan lingkungan, sosial dan berkelanjutan telah mengeluarkan kategori-kategori yang menjadi basis pemilihan proyek untuk dibiayai,” terangnya.
Beberapa contoh proyek yang dinilai “hijau” misalnya proyek-proyek untuk energi terbarukan, efisiensi energi, pencegahan dan pengendalian polusi, dan transportasi ramah lingkungan. Kemudian, beberapa contoh proyek yang dinilai “sosial” termasuk akses terhadap layanan esensial, perumahan yang terjangkau, dan ketahanan pangan dan sistem pangan berkelanjutan.
“Ke depannya, perusahaan yang berkomitmen untuk mencapai target LST yang tinggi dan melakukan inisiatif-inisiatif pendukungnya akan berpeluang untuk memiliki akses yang lebih luas kepada sumber pendanaan, yang pada akhirnya dapat membantu perusahaan dalam mencapai target berkelanjutannya,” ungkap Albidin.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya