Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangkai Kapal di Dasar Laut Cemari Lingkungan

Kompas.com - 16/12/2024, 11:18 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Dasar samudra dan lautan ternyata menyimpan lebih dari 8.500 bangkai kapal yang merupakan sisa-sisa dari dua perang dunia.

Bangkai kapal tersebut diperkirakan berisi sebanyak 6 miliar galon minyak, serta amunisi, logam berat beracun, dan bahkan senjata kimia.

Selama beberapa dekade, bangkai kapal ini sebagian besar telah terbengkalai dan tidak terpikirkan.

Baca juga:

Selama itu pula, strukturnya telah terdegradasi, yang secara tak terelakkan meningkatkan kemungkinan pelepasan zat beracun ke lingkungan laut.

Di beberapa bagian dunia, perubahan iklim bahkan memperburuk risiko tersebut. Ini lantaran meningkatnya suhu laut, pengasaman, dan intensitas badai yang makin sering mempercepat kerusakan bangkai kapal.

Biaya untuk mengatasi masalah global ini pun menurut Fraser Sturt, Profesor Arkeologi, Universitas Southampton, Inggris diperkirakan mencapai 340 miliar dollar AS.

Berlomba dengan Waktu

Dikutip dari Science Alert, Senin (16/12/2024) sebagian besar bangkai kapal yang paling mengkhawatirkan adalah bangkai kapal berbahan logam, atau konstruksi logam dan kayu.

Baja di bangkai kapal ini perlahan-lahan mengalami degradasi, meningkatkan kemungkinan kargo tumpah, dan komponen rusak. Namun, ini hanya sebagian dari risikonya.

Laut menjadi tempat yang semakin sibuk dengan berbagai aktivitasnya, seperti penangkapan ikan yang lebih intensif dan meningkatnya pembangunan instalasi energi lainnya untuk memenuhi komitmen nol bersih.

Semua ini memengaruhi dasar laut dan secara fisik dapat mengganggu atau mengubah dinamika lokasi bangkai kapal.

Meski ada pengakuan global tentang perlunya mengatasi masalah ini, namun problem belum terselesaikan hingga saat ini karena tantangan internasional dan interdisipliner yang kompleks yang ditimbulkannya.

Banyak bangkai kapal berada di perairan lepas negara yang tidak ada hubungannya dengan pemilik asli kapal. Sehingga cukup sulit untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dan yang harus membayar pembersihan.

Selain itu Sturt mengungkapkan ada tantangan teknis lainnya, seperti mengetahui dengan pasti berapa banyak bangkai kapal yang perlu diwaspadai, cara menemukannya, dan bagaimana menilai kondisi serta menentukan perlu tidaknya intervensi.

Setiap pertanyaan tersebut merupakan tantangan yang kompleks dan penyelesaiannya memerlukan kontribusi dari para sejarawan, arkeolog, insinyur, ahli biologi, ahli geofisika, ahli geokimia, surveyor hidrografi, analis data geospasial, dan insinyur.

Baca juga:

Teknologi Baru

Teknologi baru jelas penting untuk mengatasi permasalahan ini.

Misalnya, pesawat nirawak bawah laut yang dikenal sebagai Kendaraan Bawah Air Otonom (AUV), yang dilengkapi dengan serangkaian sensor untuk mengukur dasar laut dan mendeteksi polutan, dapat membantu meningkatkan pengetahuan kita tentang lokasi bangkai kapal, apa yang dibawanya, dan tingkat kerusakannya.

AUV dapat menyediakan data resolusi tinggi yang relatif murah yang menghasilkan lebih sedikit emisi daripada kampanye survei sejenis yang dilakukan dari kapal penelitian besar.

Namun tetap perlu membandingkan hasil data dengan arsip lainnya untuk membantu menghasilkan pengetahuan dan tingkat kepastian yang lebih tinggi.

Selain itu juga perlu kerangka regulasi dan pendanaan yang kuat serta standar teknis perbaikan.

Dengan begitu, risiko lingkungan dan keselamatan yang ditimbulkan oleh bangkai kapal di dasar laut bisa diantisipasi.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau