JAKARTA, KOMPAS.com - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan bahwa planet yang sehat tidak mungkin terwujud tanpa lautan yang sehat.
Hal itu disampaikan Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Lautan, Peter Thomson, dalam pidato sambutannya saat Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2024).
“Laut terus menghadapi berbagai ancaman seperti polusi suara, bahan kimia beracun, dan sampah plastik yang tersebar di seluruh lautan,” ujar Thomson.
Baca juga: Potensi Laut RI Melimpah, Tapi Baru Sumbang 7,9 Persen PDB
Hal tersebut, kata dia, menjadi beberapa penyebab dampak emisi gas rumah kaca dan pemanasan global mulai dirasakan di seluruh samudera, dari kutub hingga palung terdalam.
“Spesies biota laut mulai bermigrasi karena kondisi laut yang berubah, dan sistem arus laut global mengalami perubahan yang mengkhawatirkan,” imbuhnya.
Ia menambahkan, pemanasan laut juga menyebabkan kenaikan permukaan air laut, yang tentunya dapat mengancam pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir.
Sementara itu, kenaikan suhu dan tingkat keasaman laut bisa mengakibatkan kematian terumbu karang, yang mengancam keanekaragaman hayati laut.
Baca juga: Dukung Bebas Emisi, Ahli Bikin Green Hydrogen untuk Transportasi Laut
Melihat fenomena itu, Peter Thomson kembali mengingatkan pentingnya memanfaatkan ekonomi biru (blue economy) yang berkelanjutan.
“Pertama-tama, itu berarti kita harus tetap konsisten dengan jalur yang telah kita tetapkan melalui sustainable development goals (SDG) 14 yaitu ‘Kehidupan di Bawah Air,” tegasnya.
Ia menegaskan, implementasi SDG nomor 14 sangat penting untuk masa depan ketahanan pangan manusia, ketahanan iklim, serta transisi ke energi hijau.
“Namun, manusia saat ini masih berada dalam pertarungan lama antara perlindungan dan eksploitasi sumber daya laut, di mana upaya konservasi seringkali bertentangan dengan konsumsi,” tuturnya.
Baca juga: Ahli Temukan Jamur Pemakan Plastik, Bisakah Bersihkan Lautan Dunia?
Sebagai contoh, ia mengatakan masih banyaknya penangkapan ikan berlebihan. Dengan data laporan Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa 34 persen dari stok ikan global telah ditangkap melebihi batas keberlanjutan biologisnya.
Lebih lanjut, ia mengapresiasi negara-negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia, yang telah mengambil langkah dengan mengadopsi kerangka kerja (framework) ekonomi biru pada tahun 2023, yang bertujuan mengelola ekosistem laut secara berkelanjutan untuk kepentingan masyarakat di kawasan tersebut.
“Atas segala yang telah dan terus dilakukan oleh Indonesia untuk pengembangan ekonomi biru berkelanjutan, atas nama laut dan mereka yang bekerja untuk menjaga kesejahteraannya, saya menyampaikan terima kasih,” pungkas dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya