KOMPAS.com - Kita ingin mencapai ketahanan pangan, tetapi upaya upaya untuk memenuhinya justru meningkatkan deforestasi. Kita ingin beralih ke transportasi rendah emisi tetapi yang terjadi justru perusakan lingkungan karena penambangan nikel untuk industri mobil listrik.
Mengapa langkah kita mengatasi krisis seringkali justru menciptakan krisis lain yang tidak kalah besar? Sebuah studi ambisius oleh Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) yang melihat keterkaitan antara isu air, biodiversitas, pangan, dan perubahan iklim mengungkap sebabnya.
Studi yang dilakukan oleh 165 pakar dari 57 negara selama 3 tahun tersebut mengungkap bahwa kegagalan besar dalam mengatasi masalah lingkungan disebabkan oleh kecenderungan melihat satu masalah lingkungan sebagai isu tunggal, tidak berhasil mengidentifikasi keterkaitannya dengan masalah lain.
Baca juga: Dekarbonisasi Nikel: Baseline Emisi Ditetapkan, Potensi Energi Terbarukan Dipetakan
Masalah lingkungan kerapkali dilihat hanya terkait sebab lingkungan langsung seperti spesies invasif dan alih fungsi lahan. Padahal, masalah lingkungan terkait dengan sebab tak langsung seperti ambisi pemerintah suatu negara untuk mencapai target Gross Domestic product (GDP).
"Banyak institudi bekerja sendiri, menelurkan tujuan-tujuan yang saling bertentangan, inefisien, memberi insentif negatif, membuahkan konsekuensi yang tak terduga, kata Prof Paula Harrison dari UK Center for Ecology and Hydrology dalam laporan yang dirilis pada Selasa (17/12/2024).
Laporan menyebut, sekitar 50 triliun dollar AS yang dihasilan dari aktivitas ekonomi dunia - atau sekitar 50 persen GDP global - tergantung pada alam. Dalam aktivitasnya, beragam sektor hanya memprioritaskan dampak finansial jangka pendek, tanpa peduli pada efek lingkungan jangka panjang.
"Dampak tak terhitung dari aktivitas ekonomi pada biodiversitas, air, kesehatan, dan perubahan iklim, termasuk dari aktivitas ekonomi produksi pangan, diperkirakan mencapai 10-25 triliun dollar AS per tahun," ungkap Pamela McElwee dari Rutgers University yang juga terlibat studi.
Baca juga: Ekspansi Hilirisasi Nikel 4 Perusahaan Naikkan Emisi RI 38,5 Juta Ton
Pemerintah berbagai negara sering memberikan subsidi pada aktivitas ekonomi yang tanpa sadar ikut merusak lingkungan. Jumlah subsidi itu diperkirakan 1,7 triliun dollar AS per tahun secara global. Sementara investasi sektor swasta yng berkontribusi pada perusakan diperkirakan mencapai 5,3 triliun dollar AS per tahun.
Berdasarkan studi tersebut, upaya mengatasi krisis lingkungan bukan hanya harus ambisius dan cepat, tetapi juga menyeluruh, memperhatikan keterkaitannya dengan beragam masalah. Penundaan penyelesaian akan semakin meningkatkan biaya. Perubahan iklim, misalnya, jika tak diatasi segera bisa menambah beban ekonomi setidaknya 500 miliar dollar AS per tahun.
Untuk mengatasi masalah pangan, misalnya, Harrison mengatakan, langkah yang baik adalah yang fokus pada "produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, dipadukan dengan pelestarian dan perbaikan ekosistem, pengurangan polusi, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim."
Contoh upaya mengatasi masalah lingkungan yang baik adalah pelibatan masyarakat adat. "Misalnya area taman nasional laut yang melibatkan komunitas dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan. Ini bisa mendorong peningkatkan biodiversitas, kemelimpahan ikan yang bisa memberi sumber pangan, meningkatkan pendapatan dan revenue wisata," katanya.
Baca juga: Bahlil: Industri Mobil Listrik Global Andalkan RI untuk Pasok Nikel
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya