KOMPAS.com - Meski menjadi tanah yang paling subur dan kaya akan bahan organik, tanah hitam di Indonesia menghadapi berbagai tantangan.
Periset dari Pusat Riset Tanaman Pangan (PRTP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Destika Cahyana mengatakan, tanah hitam terancam konversi lahan bila tidak ada data yang valid.
Hal tersebut disampaikan Destika dalam webinar Pengelolaan Tanah Hitam Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Mitigasi Perubahan Iklim, Kamis (12/12/2024).
Baca juga: Mitigasi Rawan Bencana, Data Penurunan Muka Tanah Segera Diperbarui
Konversi lahan akan menyebabkan erosi dan membuat tanah hitam akan hilang, begitu juga stok karbonnya.
"Karena itu, identifikasi sebaran spasial dan proteksi tanah hitam sangat diperlukan," ujar Destika dikutip dari situs web BRIN.
Dia menambahkan, pihaknya telah melakukan pemetaan tanah hitam tahap pertama. Hasil dari pemetaan tersebut, Indonesia memiliki 6,3 juta hektare tanah hitam yang dapat ditemui di 14 provinsi.
Misalnya Aceh, beberapa wilayah di Jawa, Sulawesi, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Papua.
Baca juga: Kesehatan Tanah Menurun, Swasembada Pangan Butuh Lahan Sehat dan Produktif
"Sedangkan untuk tahap kedua, kami tengah melakukan klasifikasi di software SAGA dengan data DEM dan algoritma Landform. Kemudian pemisahan Mollisols dilakukan di software R dengan metode digital soil mapping atau machine learning," terangnya.
Periset PRTP BRIN lainnya, Ahmad Suriadi, menjelaskan pengelolaan tanah hitam di NTB untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, dan peternakan.
"Pengelolaan dilakukan dengan sistem gogorancah untuk tanah kering dan penanaman gora, agar petani tidak perlu menyiangi lahan saat kering," jelasnya.
Ahmad juga menyarankan penggunaan herbisida selektif untuk menekan biaya penyiangan, serta teknik konservasi air dengan embung untuk meningkatkan produktivitas lahan tadah hujan.
Baca juga: Tingginya Kandungan Garam di Tanah Ancam Pertanian Global
Sementara itu, Tony Basuki dari PRTP BRIN memaparkan pengelolaan tanah hitam di NTT yang tersebar di pulau-pulau kecil.
"Kami mengelola tanah dengan pendekatan berbasis pengetahuan dan kearifan lokal, seperti teknik aisuak untuk mengolah tanah berat. Teknik ini membantu menggemburkan tanah setelah hujan," ungkap Tony.
Di Lembah Palu Sulawesi Tengah, Syafruddin dari PRTP BRIN menjelaskan tanah hitam dimanfaatkan untuk hortikultura, perkebunan kakao, kopi, dan palawija.
"Pengelolaan tanah hitam di sini memerlukan pemupukan, teknik konservasi tanah dan air. Di samping itu juga diperlukan dukungan infrastruktur dan penyuluhan kepada petani," kata Syafruddin.
Ia mengajak masyarakat untuk merawat tanah hitam dan mendorong riset lebih lanjut guna meningkatkan produktivitas dan mendukung swasembada pangan nasional.
Baca juga: Lebih dari Separuh Tanah di Bumi Akan Mengering Permanen
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya