JAKARTA, KOMPAS.com – Sumber daya manusia (SDM) merupakan pilar utama untuk pertumbuhan dan pembangunan nasional. Sayangnya, kualitas SDM Indonesia dinilai masih rendah untuk bisa mendukung hal tersebut.
Pada 2020, Indeks Modal Manusia atau Human Capital Index (HCI) Indonesia berada pada angka 0,54. Skor ini terbilang kecil ketimbang dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia (0,61), Thailand (0,61), Brunei Darussalam (0,63), Vietnam (0,69), dan Singapura (0,88).
Untuk diketahui, skor HCI terdiri dari angka nol sampai 1. Skor indeks di angka 1 berarti anak mencapai kondisi ideal dari semua komponen indikator.
Indikator-indikator yang digunakan ialah kemampuan bertahan hidup masyarakat sampai umur lima tahun (survival), pendidikan yang diukur dari harapan pencapaian lama bersekolah dan kualitas pendidikan skor tes, serta kesehatan yang diukur dari kelangsungan hidup usia 15-60 tahun dan persentase balita tidak stunting.
Sebagai salah satu indikator, mutu pendidikan nasional dianggap belum mencukupi untuk mendorong peningkatan kualitas SDM Indonesia.
Hal tersebut tecermin dari skor Programme for International Student Assessment atau Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) 2022 yang menurun.
Adapun skor skor PISA untuk aspek membaca adalah 359, matematika 366, dan sains 383. Sementara, pada 2018, skor PISA Indonesia untuk aspek membaca 371, matematika 379, dan sains 396.
Skor PISA Indonesia pada 2022 pun masih berada di bawah rata-rata, yaitu 476 untuk membaca dan sains, serta 472 untuk matematika.
Assistant Professor Clinton School of Public Service dan University of Arkansas Andreas Sihotang menegaskan bahwa kemampuan numerasi dan literasi adalah kunci untuk mendorong kualitas SDM guna mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Hal itu dia sampaikan dalam Forum Diskusi Pendidikan Dasar (Fokus) 2024 bertajuk “Pendidikan Berkualitas yang Merata untuk Indonesia Emas 2045” yang diinisiasi oleh Tanoto Foundation di Nine Ballroom UOB Plaza, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
“Numerasi dan literasi bukan sekadar berhitung dan membaca. Dua kemampuan ini adalah pemahaman yang penting untuk lebih tanggap dan berpikir kritis dalam menghadapi kehidupan sehari-hari,” ujar Andreas.
Mengacu pada skor PISA, Andreas menilai, nilai rendah skor tersebut ditengarai berbagai tantangan.
Nilai rendah skor membaca, lanjutnya, tak lepas dari kemampuan dan motivasi guru. Menurutnya, guru cenderung fokus pada kegiatan membaca, menulis, dan menghafal yang dianggap membosankan oleh siswa. Guru juga kesulitan merancang kegiatan yang bisa meningkatkan kemampuan membaca secara komprehensif.
“Kondisi perpustakaan di beberapa sekolah juga tidak mendukung minat baca siswa. Orangtua juga tidak cukup memberi dorongan kepada anak untuk membaca di rumah,” ucap dia.
Baca juga: Tanoto Foundation Wujudkan Kolaborasi Multipihak untuk Pendidikan Berkualitas
Hal itu diperkuat dengan pandangan dan sikap siswa terhadap kegiatan membaca. Siswa merasa bahwa kegiatan tersebut cenderung sulit dan membosankan karena kerap dikaitkan dengan tugas sekolah. Mereka juga merasa terbebani dengan kewajiban untuk mencatat dan menghafal bacaan.
Sementara, nilai rendah skor berhitung dikaitkan dengan pandangan guru tentang numerasi yang sering kali terbatas pada kemampuan berhitung dan belum mencakup pemahaman dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Minimnya sekolah yang menerapkan pembelajaran aktif dan menggunakan konteks dunia nyata dalam matematika juga menjadi tantangan tersendiri.
“Kualitas buku teks matematika juga belum menggunakan konteks dunia nyata,” kata Andreas.
Hal senada juga disampaikan Associate Professor University of Canberra Sitti Maesuri.
Menurutnya, salah satu tantangan yang dihadapi adalah siswa di daerah tertinggal yang memulai sekolah 12 bulan lebih lambat dari teman sebayanya. Kesenjangan digital juga memperlebar ketidaksetaraan.
Sitti mengatakan, penguatan numerasi dan literasi dapat menjadi jalan terang untuk meningkatkan keterlibatan dan hasil pembelajaran. Pada akhirnya, hal ini akan mendorong kapasitas SDM Indonesia.
“Numerasi adalah pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan disposisi yang dibutuhkan siswa untuk menggunakan matematika di situasi luas. Numerasi melibatkan pengenalan dan pemahaman peran dari matematika sehingga anak memiliki kapasitas untuk menggunakan pengetahuan matematika dan skill mereka dengan tepat sasaran untuk kehidupan sehari-hari,” jelas dia.
Sementara, literasi merupakan kemampuan membaca, menulis, dan berbicara untuk mengekstraksi, mengonstruksi, mengintegrasikan, dan mengkritik makna. Proses ini dilakukan melalui interaksi dan keterlibatan berbagai aspek dalam konteks sosial dan praktik.
Kedua kemampuan itu, lanjut Sitti, dapat diasah dengan mengembangkan penalaran spasial (spatial reasoning).
“Salah satu intervensi yang bisa dilakukan adalah menggenjot atau meningkatkan prestasi numerasi dan literasi dengan menspasialkan kurikulum berbasis numerasi dan literasi lewat penalaran spasial” ucap Sitti.
Dalam jurnal bertajuk “Case Study Spatial Reasoning in Student Junior High School Solve Problems Geometri” yang ditulis pada 2016, Dewi Risalah menjabarkan bahwa penalaran spasial adalah proses berpikir untuk memvisualisasikan objek dan memahami secara abstrak objek atau simbol.
Penalaran spasial dinilai sebagai substansi penting memahami geometri, pengukuran, dan pemecahan masalah.
“Penalaran spasial ibarat operasi di otak untuk melihat, menginspeksi, serta merefleksi objek-objek spasial, gambar, hubungan-hubungan dan transformasi-transformasi. Ini dapat menjadi training penalaran guna meningkatkan kemampuan numerasi dan literasi,” ucap Sitti.
Meski menghadapi sejumlah tantangan, peningkatan kualitas SDM Indonesia lewat penguatan numerasi dan literasi adalah keniscayaan.
“Perlu intervensi dan kolaborasi dengan banyak pihak, seperti yang telah dilakukan Tanoto Foundation melalui gelaran ini,” ucap Sitti.
Terkait intervensi, Andreas merekomendasikan kepada sekolah untuk melakukan pelatihan, pendampingan, dan pembelajaran silang untuk meningkatkan kompetensi guru. Dia juga berharap adanya penguatan kepemimpinan kepala sekolah melalui project-based capacity building.
“Keterlibatan dan pendampingan orangtua juga perlu diperkuat,” tegas Andreas.
Pada tingkat yang lebih tinggi, Andreas berharap Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dapat mendukung pengembangan media belajar kontekstual.
Baca juga: Gelar Fokus 2024, Tanoto Foundation Perkuat Komitmen Pemerataan Akses Pendidikan
Pemerintah juga sejatinya dapat memperluas akses ke perangkat dan teknologi digital serta merevitalisasi pendidikan calon guru melalui penguatan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan.
“Langkah kolaborasi antar-pemangku kepentingan, seperti lewat gelaran Fokus 2024, juga menjadi poin penting untuk menjawab tantangan-tantangan terkait penguatan peserta didik,” ucap Andreas.
Memasuki penyelenggaraan keduanya, Fokus merupakan hasil kerja sama Tanoto Foundation dengan Kemendikdasmen dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas).
Dalam sambutannya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menegaskan, Fokus 2024 sejalan dengan visi Kemendikdasmen tentang pendidikan bermutu untuk semua.
Oleh karena itu, Abdul sangat mengapresiasi upaya Tanoto Foundation dalam membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia demi membantu mencapai visi Indonesia Emas 2045.
“Tanoto Foundation selama ini sudah menjadi mitra kami dalam upaya memajukan pendidikan di Indonesia. Bahkan, mereka mungkin menjadi salah satu the leading organization yang banyak berkomitmen dalam bidang pendidikan. Mudah-mudahan, mereka terus menjadi mitra strategis kami di masa-masa yang akan datang,” terang Abdul.
Country Head Tanoto Foundation Inge Kusuma mengatakan, Fokus 2024 bertujuan untuk mengulas capaian dan pembelajaran dari berbagai inisiatif pendidikan dasar yang telah dilaksanakan sepanjang 2024.
Forum tersebut berpusat pada pengembangan kualitas sekolah, peningkatan kemampuan guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran, serta penguatan partisipasi orangtua dalam proses belajar.
Baca juga: Tanoto Foundation Gelar Simposium Perkuat Komitmen Kebijakan PAUD-HI
Selain itu, Fokus 2024 juga membahas penguatan perencanaan program pendidikan, pengembangan kebijakan, optimalisasi anggaran, dan contoh keberhasilan penyebaran praktik baik.
Semua pembahasan tersebut diharapkan dapat memberikan masukan strategis dan langkah konkret dalam menciptakan pendidikan berkualitas yang merata di seluruh Indonesia.
“Kami meyakini bahwa konsep kerja sama pentaheliks yang melibatkan pemerintah, akademisi, sektor swasta, seperti filantropi dan mitra pembangunan, serta media, memegang peranan penting dalam menciptakan pendekatan yang komprehensif untuk memajukan pendidikan di Indonesia,” tutur dia.
Setiap pihak, tambah Inge, memiliki pengetahuan dan kompetensi unik sehingga dapat saling melengkapi. Oleh karena itu, melalui kolaborasi, Inge optimistis bahwa keberlanjutan inisiatif dapat lebih terjamin.
“Kita harus bergerak bersama untuk menciptakan lingkungan belajar yang sehat, baik di sekolah maupun di rumah. Kami di Tanoto Foundation berkomitmen untuk mendukung penuh program-program yang sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045,” kata Inge.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya