KOMPAS.com - Laporan terbaru dari Christian Aid menyebutkan, 10 bencana iklim yang terjadi sepanjang 2024 menyebabkan 2.000 orang tewas. Selain itu, tercatat nilai kerugian hingga 229 miliar dolar Amerika Serikat.
Christian Aid adalah organisasi non-pemerintah di Inggris yang berfokus pada pemberantasan kemiskinan global, keadilan sosial, dan penanganan dampak perubahan iklim.
Peneliti menyampaikan, sebagian besar kerugian finansial terjadi di AS. Setidaknya, dua badai yakni Helene dan Milton yang melanda AS pada September serta Oktober mengakibatkan kerugian lebih dari 50 miliar dolar AS.
“Sebagian besar bencana ini menunjukkan jejak yang jelas dari perubahan iklim. Cuaca ekstrem secara nyata menyebabkan penderitaan di seluruh dunia,” ujar peneliti dari Imperial College London Mariam Zachariah dikutip dari The Guardian, Senin (30/12/2024).
Baca juga: Perubahan Iklim: Hari-hari Beku Berkurang, Musim Dingin Makin Pendek
Bencana akibat iklim lainnya antara lain Topan Yagi di Asia Tenggara, yang menewaskan 829 orang dan menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 12,6 miliar dolar AS.
Kemudian, Badai Boris di Eropa yang menewaskan 26 orang dengan kerugian 5 miliar dolar AS, serta banjir di China bagian selatan, Bavaria, Valencia, dan Rio Grande do Sul di Brazil.
Para peneliti mencatat bahwa kerugian lebih dari 4 miliar dolar AS disebabkan karena krisis iklim akibat ulah manusia.
Dalam setiap kasus, peneliti menghitung seberapa besar kemungkinan bencana-bencana tersebut diperparah pembakaran bahan bakar fosil seperti gas, minyak, serta batu bara.
“Laporan ini hanyalah gambaran singkat dari kehancuran iklim pada tahun 2024. Masih banyak kekeringan, gelombang panas, kebakaran hutan, dan banjir lainnya yang tidak termasuk dalam laporan ini, tetapi makin sering terjadi dan intens,” kata Zachariah.
Christian Aid menyusun peringkat bencana akibat iklim menggunakan data dari klaim asuransi. Pihaknya menyatakan, pembiayaan akibat bencana kemungkinan jauh lebih besar lantaran masih banyak orang yang tidak memiliki asuransi terutama di negara-negara miskin.
Baca juga: Pengetahuan Perubahan Iklim: Siapa yang Disebut Migran Iklim?
Christian Aid juga melaporkan, bencana iklim besar lainnya pada 2024 memiliki dampak finansial langsung yang lebih rendah. Namun, berpengaruh pada jumlah korban jiwa, kehancuran ekosistem penting global, rusaknya pasokan makanan, stabilitas sosial, maupun kenaikan permukaan laut.
Bencana itu termasuk banjir di Afrika barat, tanah longsor di Filipina, kekeringan di Afrika selatan, gelombang panas di Bangladesh, Gaza, dan Antartika timur.
CEO Christian Aid, Patrick Watt, mendesak pembuat kebijakan global untuk menekan emisi, dan menambah pembayaran kompensasi ke negara-negara miskin.
“Penderitaan manusia yang disebabkan oleh krisis iklim mencerminkan pilihan politik. Tidak ada yang alami dari meningkatnya tingkat keparahan dan frekuensi kekeringan, banjir, dan badai,” ucap Watt.
Baca juga: Krisis Iklim, Indonesia Alami Tambahan 122 Hari Suhu Panas pada 2024
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya