KOMPAS.com - Analisis baru mengungkapkan bahwa investor mengajukan sejumlah resolusi terkait keanekaragaman hayati dan deforestasi pada 2024.
Namun tidak ada resolusi yang dianalisis dan disahkan melalui pemungutan suara karena manajer aset tidak memberikan cukup dukungan.
Temuan tersebut berdasarkan penelitian terbaru dari Global Witness yang menganalisis basis data pemegang saham atau investor yang tercantum dalam Principles for Responsible Investment dan Ceres untuk mengidentifikasi resolusi yang terkait dengan keanekaragaman hayati dan deforestasi.
Menurut Global Witness, sebagian besar perusahaan yang dianalisis berbasis di Amerika Utara. Meski ukuran sampel kecil, Global Witness menyebut hasil temuan menjadi gambaran singkat tren umum.
Global Witness kemudian menggunakan istilah pencarian yang relevan seperti keanekaragaman hayati, penggunaan lahan dan juga deforestasi.
Sebagai informasi resolusi investor atau pemegang saham merupakan cara bagi pemegang saham untuk mendorong tanggung jawab perusahaan dan mencegah praktik perusahaan yang tidak berkelanjutan atau tidak etis.
Baca juga:
Dikutip dari Edie, Senin (30/12/2024) analisis menunjukkan ada 18 resolusi pemegang saham terkait keanekaragaman hayati dan deforestasi yang diajukan pada 2024.
Jumlah tersebut naik dari 12 pada 2023 dan 9 pada 2022.
Resolusi-resolusi tersebut berfokus pada isu-isu seperti deforestasi dalam rantai pasokan, penambangan laut dalam, penggunaan air, dan dampak pestisida dalam pertanian.
Kendati demikian, analisis Global Witness secara khusus difokuskan pada tiga resolusi di 3 perusahaan.
Pertama, resolusi yang diajukan di Tyson Foods, pengolah makanan terbesar kedua di dunia.
Resolusi meminta perusahaan untuk mempercepat upaya menghilangkan deforestasi dari rantai pasokannya pada 2025.
Selanjutnya, PepsiCo dan Home Depot yang menuntut perusahaan melakukan penilaian dampak keanekaragaman hayati.
Resolusi tersebut masing-masing hanya menerima dukungan sebesar 3 persen, 18 persen, dan 16 persen. Angka itu masih jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan untuk meloloskan resolusi.
Di antara mereka yang menentang adalah manajer aset besar yang berbasis di AS, seperti BlackRock, Vanguard, dan State Street Global Advisors (SSGA).
Mereka diketahui telah menentang sebagian besar proposal yang terkait dengan keanekaragaman hayati dan penggundulan hutan yang diajukan pemegang saham, meskipun mereka berkomitmen secara publik terhadap keberlanjutan dan target nol emisi.
Sementara suara dari manajer aset utama secara signifikan memengaruhi hasil resolusi.
"Investor semakin menyatakan bahwa mereka tertarik untuk mengakhiri krisis alam, tetapi tindakan manajer aset di ruang rapat menunjukkan cerita yang berbeda karena menentang resolusi yang diperlukan untuk melindungi ekosistem dari ancaman seperti penggundulan hutan," ungkap Alexandria Reid, dari Global Witness.
Global Witness pun berkesimpulan manajer aset yang berbasis di AS secara khusus lebih enggan untuk mendukung inisiatif keanekaragaman hayati dibandingkan yang berada di UE dan Inggris.
Melansir Sustainable Brands, meski resolusi telah menjadi alat ampuh bagi pemegang saham untuk memengaruhi praktik keberlanjutan perusahaan, temuan baru ini mencerminkan masalah yang lebih luas.
Dalam hal ini adalah menunjukkan bagaimana investor gagal menggunakan pengaruh mereka terhadap perusahaan tempat mereka berinvestasi untuk mengurangi deforestasi dan kerusakan lain terhadap keanekaragaman hayati.
Baca juga:
Tren ini menjadi lebih jelas dalam beberapa tahun terakhir, dengan dukungan untuk resolusi keanekaragaman hayati turun tajam dari 59 persen pada 2022 menjadi 13 persen pada 2024.
Laporan tahun 2023 dari lembaga nirlaba investasi Share Action turut mengungkapkan bahwa 64 manajer aset dan 50 perusahaan asuransi gagal memberikan bukti yang jelas tentang strategi untuk mengatasi risiko yang terkait dengan kawasan lindung ini, yang menekankan perlunya keterlibatan investor yang lebih besar untuk mengatasi penurunan keanekaragaman hayati.
Sementara itu di sisi lain krisis keanekaragaman hayati dunia perlu mendapatkan perhatian khusus.
Menurut data terbaru dari World’s Resource Institute (WRI), dunia kehilangan hutan seluas hampir 10 lapangan sepak bola setiap menit dalam setahun terakhir.
Sementara para ilmuwan telah memperingatkan bahwa aktivitas manusia telah mendorong planet ini ke zona bahaya pada tujuh dari delapan indikator kesehatan planet.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan krisis lingkungan yang dihadapi sekarang sebagai "krisis eksistensial."
Saat ini, hanya 17,6 persen daratan dan perairan pedalaman global, bersama dengan 8,4 persen wilayah laut dan pesisir, yang ditetapkan sebagai kawasan lindung atau konservasi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya