KOMPAS.com - Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) menilai, penerapan cukai karbon kepada kendaraan bermotor bisa menambah pendapatan negara.
Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin mengatakan, menurut penghutingan, cukai karbon kendaraan bermotor lebih menguntungkan daripada penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen.
"Potensi cukai ini sebesar Rp 92 triliun per tahun (netto), jauh lebih besar ketimbang tambahan 1 persen dari kenaikan PPN yang hanya Rp 67 triliun per tahun," ujar Ahmad sebagaimana dilansir Antara, Kamis (2/1/2025).
Baca juga: Penangkap Karbon Dinilai Jadi Upaya Memperpanjang Industri Fosil
Di satu sisi, pemangkasan emisi karbon juga menjadi salah satu amanat untuk memerangani krisis iklim yang terjadi.
Dengan penerapan cukai karbon, upaya tersebut dapat memicu pendapatan pemerintah dari sektor otomotif sekaligus memitigasi emisi.
Ahmad berujar, apabila cukai karbon diterapkan di seluruh sektor pembangunan dan industri, maka akan semakin besar pendapatan yang diperoleh.
Jumlah tersebut, lanjutnya, adalah netto setelah dikurangi insentif fiskal yang dialokasikan sebagai reward bagi kendaraan emisi karbon rendah atau net-zero emission vehicle (net-ZEV).
Net-ZEV adalah tren global saat ini yang mengandalkan tenaga penggerak berupa motor listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV).
"Efisiensi energi adalah keniscayaan demi ketahanan energi nasional sekaligus mencegah menyublimnya pendapatan pemerintah akibat beban penyediaan pasokan energi (BBM) nasional," papar Ahmad.
Baca juga: Warga Inggris Produksi Emisi Karbon 23 Kali Lebih Banyak pada Natal
Menurut studi Institute for Essential Services Reform (IESR), Center of Reform on Economics (CORE Indonesia), KPBB, dan Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), peningkatan kualitas BBM juga bisa menghemat biaya kesehatan Rp 550 miliar setiap tahunnya di Jakarta.
Kajian tersebut menunjukkan pengetatan standar kualitas BBM setara Euro IV berdampak signifikan terhadap pengurangan polusi udara.
Sehingga, kualitas kesehatan masyarakat dapat meningkat karena menurunkan biaya sosial dan ekonomi yang diakibatkan karena pengeluaran biaya kesehatan.
Selain itu, dampak pengetatan standar kualitas BBM juga mencegah hilangnya kesempatan ekonomi, mencegah kerusakan lingkungan, serta mendukung pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, sekitar 45 persen polusi udara di Jakarta berasal dari sektor transportasi.
Baca juga: Jepang Targetkan Potong Emisi Karbon hingga 60 Persen pada 2035
Fabby mengungkapkan, mayoritas BBM di pasar Indonesia, seperti Pertalite dan Pertamax, memiliki kualitas rendah yang diindikasikan dari kandungan sulfur mencapai 150–400 ppm, jauh di atas standar Euro IV.
Sulfur merupakan komponen alami minyak mentah yang terdapat pada bensin dan diesel. Saat dibakar, sulfur menghasilkan emisi berupa sulfur dioksida.
Untuk itu, ia mendorong penurunan kandungan sulfur dengan memperketat standar kualitas BBM, seperti menerapkan Euro IV yang membatasi sulfur maksimal 50 ppm.
"Polusi udara menyebabkan kerugian perekonomian yang meningkatkan biaya kesehatan, menurunkan produktivitas masyarakat dan kerusakan lingkungan," kata Fabby dikutip dari siaran pers, Selasa (19/11/2024).
Baca juga: Label Emisi Penerbangan Bakal Diluncurkan di Eropa, Penumpang Bisa Bandingkan Jejak Karbon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya