Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hidayatullah Rabbani
Peneliti BRIN

Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Ekspansi Sawit: Ancaman Petani Swadaya, Masyarakat Adat, dan Lingkungan

Kompas.com - 03/01/2025, 08:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Petani kecil sering kali terjebak dalam ketergantungan pada perantara dan perusahaan besar yang menentukan harga jual.

Baca juga: Prabowo Minta Kepala Daerah dan TNI-Polri Jaga Lahan Sawit: Itu Aset Bangsa

Dalam pidatonya, Presiden Prabowo juga meminta agar aparat pemerintah dan militer turut terlibat dalam menjaga "aset strategis" sawit.

Pernyataan ini menambah kecemasan terkait ancaman terhadap petani swadaya dan masyarakat adat yang kerap terpinggirkan dalam konflik lahan dengan perusahaan perkebunan sawit.

Keterlibatan aparat dalam sektor sawit bisa memperburuk ketidakadilan yang sudah ada. Di beberapa daerah, masyarakat adat dan petani swadaya sering kali menjadi korban dari klaim tanah oleh perusahaan besar yang didukung oleh kekuatan politik atau aparat negara.

Penegakan hukum yang lemah dan terkadang berpihak pada kepentingan korporasi mengakibatkan banyak petani kecil kehilangan hak atas tanah mereka yang telah digarap turun-temurun.

Dalam beberapa kasus, aparat keamanan digunakan untuk mengusir masyarakat adat dan petani swadaya dari lahan mereka, sering kali dengan kekerasan, dan tanpa proses yang adil atau transparan.

Kebijakan yang melibatkan aparat dalam "mengamankan" ekspansi sawit berisiko memperburuk ketegangan sosial dan melanggengkan ketidakadilan agraria.

Ketika masyarakat adat dan petani swadaya kehilangan akses ke lahan, mereka tidak hanya kehilangan sumber penghidupan, tetapi juga identitas budaya dan sosial yang terkait erat dengan tanah tersebut.

Ini memperburuk ketimpangan sosial dan menghambat usaha-usaha untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih merata.

Masalah ketimpangan sosial semakin jelas terlihat dalam penguasaan lahan sawit di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, perusahaan besar menguasai sekitar 8,58 juta hektare (56 persen) dari total luas perkebunan sawit di Indonesia. Sementara petani kecil hanya mengelola 41,35 persen lahan sawit.

Data dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2022 menunjukkan bahwa meskipun perusahaan swasta hanya mencakup 0,07 persen total pelaku usaha, mereka menguasai sekitar 54,5 persen total lahan perkebunan sawit.

Ketimpangan ini menciptakan fenomena "oligarki tanah" yang menghambat akses petani swadaya terhadap sumber daya alam.

Korporasi besar sering memanfaatkan kekuatan politik untuk mengamankan hak atas lahan, sementara petani swadaya terpaksa menerima ketidakadilan tersebut.

Dalam banyak kasus, izin untuk membuka lahan perkebunan sawit diberikan tanpa transparansi dan sering kali melibatkan praktik korupsi yang merugikan masyarakat adat dan petani kecil.

Berkelanjutan dan adil

Meskipun tantangan yang dihadapi sangat kompleks, masih ada ruang untuk solusi yang lebih berkelanjutan dan adil.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau