KOMPAS.com - Hutan hujan Amazon mengalami kebakaran hebat, kekeringan ekstrem, hingga deforestasi lahan sepanjang tahun 2024. Hal ini menyebabkan hilangnya bioma atau ekosistem flora dan fauna yang menjadi penyeimbang perubahan iklim.
Hutan hujan Amazon mencakup wilayah sembilan negara, yaitu Brasil, Kolombia, Peru, Bolivia, Ekuador, Venezuela, Guyana, Suriname dan Guyana Perancis.
Mengutip AP News, Kamis (2/12/2025), hutan hujan Amazon mengalami kebakaran hutan terparah sejak terakhir kalinya pada 2005 lalu.
Baca juga: 5 Dampak Buruk Deforestasi, Ancam Siklus Air sampai Ketahanan Pangan
Otoritas setempat menduga kebakaran sengaja dilakukan untuk penggundulan hutan demi pembukaan lahan.
“Kebakaran dan kekeringan yang terjadi pada tahun 2024 di seluruh hutan hujan Amazon dapat menjadi indikator yang tidak menyenangkan bahwa kita sedang mencapai titik kritis ekologi yang lama ditakutkan,” ujar Direktur Advokasi Amazon Watch Andrew Miller.
Menurut lembaga nirlaba Rainforest Foundation AS, 2024 menjadi tahun terburuk bagi kebakaran hutan Amazon. Area yang terbakar sekitar 15,1 juta hektare antara Januari-Oktober.
Sebagian besar hutan hujan di Brazil diselimuti asap pada Agustus 2024, akibat kebakaran yang melanda Amazon, sabana Cerrado, lahan basah Pantanal, dan negara bagian Sao Paulo.
Amazon menyimpan sekitar 20 persen air tawar di dunia, serta keanekaragaman hayati termasuk 16.000 spesies pohon. Kendati demikian, pemerintah setempat memandang hutan tersebut sebagai wilayah yang harus dieksploitasi.
Sementara itu, keberlanjutan atau hak-hak masyarakat adatnya tak terlalu diperhatikan. Para ahli menyebut eksploitasi oleh individu maupun terorganisasi pun meningkat signifikan.
Lainnya, Sungai Amazon mulai kekeringan hingga menyebabkan beberapa negara mengumumkan keadaan darurat dan mendistribusikan makanan maupun air kepada penduduk yang terdampak.
Baca juga: Jika Gagal Patuhi Aturan Deforestasi UE, Indonesia Bisa Rugi Rp 50 Triliun
"Saya meyakini, orang-orang makin menyadari peran mendasar Amazon bagi kelangsungan hidup masyarakat secara keseluruhan. Namun, saya khawatir soal titik kehancuran Amazon yang tidak dapat dikembalikan lagi," ucap Pengacara Lingkungan Cesar Ipenza.
Di sisi lain, tingkat hilangnya hutan Amazon di kawasan Brazil dan Kolombia menurun. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang keanekaragaman hayati juga sepakat, memberi masyarakat adat lebih banyak suara dalam keputusan konservasi alam.
“Jika hutan hujan Amazon ingin terhindar dari titik kritis, masyarakat adat akan menjadi faktor penentu,” tutur Miller.
Tingkat penurunan hutan di Amazon mencapai 30,6 persen, angka kerusakan terendah dalam sembilan tahun terakhir.
Akan tetapi, perbaikan di bawah kepemimpinan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva dinilai kontras dengan deforestasi yang mencapai titik tertinggi dalam 15 tahun.
Sementara itu, Kolombia melaporkan tingkat deforestasi terendah sepanjang sejarah tahun 2023 karena penurunan kerusakan lingkungan.
Baca juga: Deforestasi Mangrove Mengancam, Ini Upaya Pemerintah
Menteri Lingkungan Hidup Kolombia Susana Muhamad memperingatkan, angka-angka pada 2024 mungkin tidak begitu menjanjikan karena peningkatan deforestasi akibat cuaca dan fenomena El Nino. Ekonomi ilegal turut mendorong deforestasi di negara tersebut.
“Tidak mungkin untuk mengabaikan ancaman yang ditimbulkan oleh kejahatan terorganisasi dan ekonomi yang mereka kendalikan terhadap konservasi Amazon,” jelas Bram Ebus, Konsultan Crisis Group di Amerika Latin.
"Penambangan emas ilegal berkembang pesat, didorong oleh melonjaknya harga global, dan pendapatan dari ekonomi ilegal sering kali melampaui anggaran negara yang dialokasikan untuk memeranginya," imbuh dia.
Ebus menilai, negara-negara Amazon perlu lebih banyak bekerja sama dalam penegakan hukum, tim darurat untuk memerangi kebakaran hutan, atau menyediakan perawatan kesehatan di daerah perbatasan.
Baca juga: 2024 Jadi Tahun Bencana akibat Krisis Iklim, Banjir Bandang hingga Kebakaran Hutan
“Kesejahteraan Amazon merupakan tanggung jawab global bersama, karena permintaan konsumen di seluruh dunia memicu perdagangan komoditas yang mendanai kekerasan serta kerusakan lingkungan,” terang Ebus.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya