JAKARTA, KOMPAS.com - Tanaman kelapa sawit memiliki Net Primary Production (NPP) positif, yang menunjukkan total karbon bersih yang diserap oleh tanaman dari atmosfer melalui proses fotosintesis.
Kepala Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB) Budi Mulyanto mengungkapkan bahwa dalam satu siklusnya, sawit bersifat net sink atau menyerap lebih banyak karbon dioksida dari pada yang dihasilkan.
“Sawit angka NPP-nya kurang lebih sama dengan hutan tropis. Bahkan, kalau dihitung sawit ini lebih gede NPP-nya daripada hutan tropis, kalau kita ngomong rata-rata,” ungkap Budi saat dihubungi, Jumat (10/1/2025).
Baca juga: Ubah Definisi Deforestasi, RSPO Dituding Permudah Konversi Hutan untuk Sawit
Budi berpandangan bahwa konservasi hutan tropis memiliki evolusi vegetasi klimaks yang terjadi secara bertahap dan berkelanjutan. Penyerapan karbonnya pun cenderung lebih sedikit.
“Kalau ini (sawit) kan vegetasi yang sangat agresif karena dia sedang tumbuh, pasti menyerap karbon banyak. Pada saat setelah 30 atau 25 tahun dipotong, diganti baru, jadi mesin baru menyerap lagi,” tutur dia.
Hal ini diungkapkan Budi sekaligus membantah anggapan bahwa sawit tidak menyerap karbon dioksida ataupun penyebab emisi. Selain itu, angka net ecosystem exchange (NEE) sawit setara dengan pohon di hutan.
“Jadi, berdasarkan NPP-nya dan juga NEE-nya kebun sawit comparable dengan tropical forest,” imbuh dia.
Budi menyebut, dalam satu siklus atau ekosistem perkebunan kelapa sawit neraca gas rumah kaca menunjukkan angka minus 7. Artinya, pohon ini net sink.
“Yang terpenting lagi, sawit tumbuh sangat subur dan produktif di Indonesia. Di hampir setiap lokalite (lokasi geografis), dengan syarat airnya ada,” ucap Budi.
Baca juga: Pemerintah Bisa Manfaatkan Lahan Marjinal untuk Kembangkan Kebun Sawit
Kelapa sawit telah ditanam di Indonesia sejak 100 tahun yang lalu. Pertama kali, pohon itu tumbuh di Kebun Raya Bogor dan kini merambah ke lahan seluas 16,8 juta hektare di berbagai wilayah.
“Karena itu, maka dia (sawit) menyumbang devisa, menyumbang ekonomi rakyat. Juga mengembangkan, menggerakkan ekonomi di wilayah pedesaan, nasional maupun internasional,” jelas Budi.
Budi menyebut kelapa sawit sebagai tanaman padat karya. Artinya, memberikan manfaat dengan peluang lapangan kerja, hingga menghasilkan berbagai macam produk.
Dalam catatannya, ada lebih dari 160 jenis produk turunan kelapa sawit yang telah diproduksi.
“Pemahaman peran sawit dalam pembangunan berkelanjutan secara relatif terhadap nilai fisik lingkungan, sosial ekonomi, dan berbagai dimensi kehidupan lainnya perlu kita ketahui. Jadi memandang sawit dibandingkan dengan hutan primer unfair,” sebut Budi.
Hutan primer hanya menyediakan jasa perbaikan lingkungan, namun tidak untuk lapangan pekerjaan. Kendati demikian, Budi menegaskan bahwa hutan primer masih sangat dibutuhkan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya