Hal ini akan berdampak pada perekonomian nasional melalui partisipasi industri domestik dalam rantai pasok komponen PLTN. Sehingga, pemanfaatan energi nuklir menjadi kontributor utama bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Dalam UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Indonesia berencana mengoperasikan PLTN komersial pertama pada periode ke-2 yaitu 2030 - 2034, dengan ekspansi hingga 2040; dan pada periode ke-4 (2040 - 2045) RPJPN mengamanatkan untuk mencapai kemandirian teknologi, yaitu memiliki kemampuan membangun PLTN sendiri.
Pengalaman Indonesia mengelola tiga reaktor penelitian, yakni Triga 2000 di Bandung - Jawa Barat, Kartini di D.I. Yogyakarta dan G.A. Siwabessy di Sepong - Banten menunjukkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) lokal dalam pemanfaatan teknologi nuklir.
Institusi seperti BRIN dan Perguruan Tinggi seperti UGM, ITB, serta STTN (Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir) menghasilkan 100 - 200 ahli nuklir per tahun, akan memberikan fondasi kuat untuk pengembangan energi nuklir ke depan.
Keberhasilan Korea Selatan melokalisasi lebih dari 90 persen komponen PLTN dalam tiga dekade bisa ditiru dan dijadikan model.
Pemilihan teknologi strategis, termasuk reaktor canggih Generasi IV seperti Molten Salt Reactors (MSR) yang diusung oleh ThorCon Power Indonesia dan High-Temperature Gas-cooled Reactors (HTGR) yang diusung oleh BRIN, keduanya akan memanfaatkan SDM lokal.
Peningkatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) penting untuk kemandirian teknologi. Pelajaran dari PLTN Akkuyu di Turki menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan SDM lokal. Indonesia harus memprioritaskan alih teknologi dan kemampuan produksi domestik.
Tantangan seperti kebutuhan baja berkekuatan tinggi untuk reaktor jenis MSR dan HTGR harus dapat diproduksi di dalam negeri. Proses fabrikasi bahan bakar yang lebih sederhana pada reaktor ini juga mendukung kandungan komponen lokal.
Baca juga:
Terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, kepastian kebijakan pemerintah terkait operasionalisasi PLTN pertama pada 2030-2034 dan kemandirian teknologi pada 2045.
Kedua, model IPP dan PPA harus mampu menarik investasi swasta melalui PPA yang berjangka waktu panjang.
Ketiga, memastikan terjadinya proses alih teknologi termasuk pemilihan teknologi yang sesuai dengan kemampuan domestik, seperti MSR dan HTGR.
Alih teknologi tidak hanya sebatas pada yang tertulis dalam perjanjian saja, namun teknologi terkadang harus “dibeli” atau (bahkan) “dicuri”. Sehingga, menjalin kemitraan dengan negara yang betul-betul bersedia mentransfer teknologinya menjadi sangat krusial.
Terakhir, harga listrik yang kompetitif, di bawah 7 sen dollar AS per kWh, setara dengan harga listrik dari pembangkit yang berbahan bakar fosil.
Berikut adalah Kementerian, Lembaga dan BUMN Indonesia yang telah menjalin kemitraan dengan berbagai perusahaan nuklir internasional:
Hingga saat ini, baru ThorCon Power yang telah menyampaikan proposal resmi dan melakukan persiapan konsultasi perijinan dengan BAPETEN.
Kolaborasi ini mencerminkan komitmen Indonesia dalam mengadopsi teknologi canggih pemanfaatan energi nuklir sebagai pilar strategis untuk mewujudkan swasembada energi dan Indonesia Emas 2045.
Baca juga: DEN: Tak Ada Alasan untuk Tidak Kembangkan Energi Nuklir
Kesimpulannya, terwujudnya energi nuklir sebagai pilar swasembada energi dapat memastikan kemandirian energi yang berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada impor energi.
Penguatan kebijakan, peningkatan TKDN, alih teknologi, dan kemitraan strategis, memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain global energi bersih.
"Indonesia siap menjadi pemimpin di bidang nuklir! Energi bersih, lingkungan terjaga, dan rakyat sejahtera. Menuju Indonesia Emas 2045 yang gemilang!"
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya