Selain pasokan dayanya stabil, masif dan rendah karbon, energi nuklir juga menawarkan solusi ekonomis jika listrik dari PLTN dapat dijual di bawah harga Biaya Pokok Produksi (BPP) nasional, yaitu di bawah 7 dollar AS sen per kWh, sehingga tidak menambah subsidi yang akan membebani APBN.
Indonesia memiliki cadangan uranium dan torium yang signifikan dan diperlukan untuk pengembangan energi nuklir domestik menuju kemandirian energi.
BATAN memperkirakan cadangan uranium sebesar 81.090 ton dan torium sebesar 140.411 ton . Torium yang melimpah di Indonesia sangat menguntungkan untuk dimanfaatkan pada reaktor jenis Small Modular Reactor (SMR).
Teknologi SMR adalah reaktor dengan kapasitas di bawah 300 MW (small), diproduksi di pabrik (modular), dan dapat digabungkan untuk mencapai kapasitas lebih tinggi.
Baca juga:
Misalnya, dua reaktor 250 MW dapat disambungkan ke turbin 600 MW untuk menghasilkan daya output sekitar 500 MW. Reaktor ini lebih aman, efisien dengan limbah yang sedikit.
Pada tahap awal, Indonesia mungkin perlu mengimpor uranium karena alasan ketidaksiapan dan biaya. Namun demikian, rencana jangka panjang harus memanfaatkan cadangan domestik untuk kemandirian energi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Tantangan pengembangan energi nuklir mencakup teknis, sosial, dan ekonomi. Pemilihan teknologi, penerapan standar keselamatan, dan penentuan lokasi yang ideal memerlukan koordinasi dan kolaborasi antara BATAN/BRIN, BAPETEN, KESDM, KLHK, Pemerintah Daerah, Operator PLTN, dan Lembaga Internasional seperti IAEA (International Atomic Energy Agency).
Selain itu, keterlibatan masyarakat juga penting untuk memastikan transparansi dan penerimaan sosial.
Dalam program pemanfaatan energi nuklir sebaiknya masing-masing kementerian dan lembaga terkait bekerja sesuai dengan tupoksinya masing-masing, atau tidak tumpang-tindih.
Hal ini telah diantisipasi oleh pemerintah dengan rencana dibentuknya Komite Pelaksana Program Energi Nuklir (KP2EN) atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO).
Beberapa negara, seperti Uni Emirat Arab dan Bangladesh, telah mengikuti rekomendasi IAEA dengan membentuk NEPIO sebagai langkah awal sebelum mendirikan regulator nuklir yang independen atau badan operator.
Sementara itu, dukungan politik yang kuat sangat penting bagi keberhasilan pemanfaatan energi nuklir. Regulasi yang jelas, proses perizinan yang efisien, dan dukungan infrastruktur dibutuhkan setidaknya untuk mencapai target 5,3 GW pada 2040.
Alih teknologi dari negara maju di bidang nuklir dan kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting.
Untuk mengatasi tantangan keuangan, investasi swasta melalui model Independent Power Producer (IPP), perlu didukung oleh Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) jangka panjang hingga 2 x 40 tahun. Hal ini guna menurunkan biaya produksi selama umur proyek (Levelized Cost of Energy/LCOE).
Baca juga:
Proyek PLTN di Indonesia akan menyerap tenaga kerja dan teknologi, mulai dari enjinering, konstruksi, manajemen proyek, hingga peningkatan keterampilan dan inovasi dalam keselamatan dan efisiensi. Dengan target 35 GW atau lebih dari 100 PLTN pada 2060, industri nuklir nasional akan tumbuh.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya