KOMPAS.com - Research Associate CORE Indonesia Sahara mengatakan, keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris berpotensi mempengaruhi komitmen negara-negara maju lainnya dalam menyediakan pendanaan dan bantuan penanganan perubahan iklim.
Jika hal tersebut terjadi, maka dapat mengurangi jumlah dana yang tersedia untuk proyek-proyek transisi energi di Indonesia.
Di sisi lain, ujar Sahara, proyek transisi energi di Indonesia membutuhkan pendanaan yang besar.
Baca juga: Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris, Perlawanan Perubahan Iklim Hadapi Pukulan Besar
"Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keterbatasan biaya untuk mengeksekusi proses transisi energi akan terdampak paling besar," kata Sahara, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (22/1/2025).
Sahara mengingatkan, pendanaan untuk penanganan perubahan iklim akan menjadi lebih sulit dengan keluarnya AS dari Perjanjian Paris.
Hal ini juga mengingat AS merupakan salah satu donor utama dalam pengendalian perubahan iklim.
"Berkurangnya pendanaan perubahan iklim tersebut dapat menyebabkan proyek transisi energi tersebut menjadi terhambat," kata Sahara yang juga merupakan Direktur International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University itu.
Baca juga: Baru Dilantik Jadi Presiden, Trump Langsung Tarik AS Keluar Perjanjian Paris
Ketika ditanya apakah China menjadi negara yang potensial bagi Indonesia untuk mendapatkan pendanaan melalui kerja sama, Sahara mengatakan bahwa hal itu tergantung dari "Negeri Panda".
Apakah China berkomitmen untuk fokus atau tidak fokus ke arah penanganan perubahan iklim, Beijing yang menentukan.
"Jika ya (China punya komitmen untuk penanganan perubahan iklim), bisa menjadi sumber pendanaan (melalui kerja sama dengan Indonesia)," kata dia.
Ditariknya AS dari Perjanjian Paris oleh Trump bakal berdampak besar terhadap upaya perlawanan perubahan iklim.
Perjanjian Paris merupakan pakta iklim yang diratifikasi hampir semua negara di dunia untuk mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
Baca juga: Menang Pilpres, Trump Bersiap Tarik AS dari Perjanjian Paris
Penarikan "Negeri Paman Sam" dari Perjanjian Paris disahkan Trump melalui perintah eksekutif (semacam keputusan presiden atau keppres) usai dia dilantik menjadi Presiden AS.
Dilansir dari Reuters, Selasa (21/1/2025), sejumlah analisis dan diplomat meyakini penarikan AS dari Perjanjian Paris untuk kali kedua ini memiliki dampak yang lebih besar.
Dengan ditariknya AS dari Perjanjian Paris, Trump diperkirakan akan membatalkan rencana pemangkasan emisi gas rumah kaca (GRK) negara tersebut.
Selain itu, Trump juga diperkirakan akan membatalkan pajak kredit di era presiden sebelumnya, Joe Biden Biden untuk proyek-proyek pemangkasan karbon dioksida.
Michael Gerrard, seorang profesor hukum di Columbia Law School mengatakan, keluarnya AS dari Perjanjian Paris akan semakin membahayakan tercapainya pembatasan suhu global.
Baca juga: Nitrogen Dioksida Terus Naik, Target Perjanjian Paris Bisa Meleset
Mantan negosiator iklim sekaligsus penasihat kebijakan senior untuk Perancis, Paul Watkinson, menuturkan penarikan AS dari Perjanjian Paris kali ini bisa berdampak lebih buruk terhadap upaya perlawanan iklim global.
"Itu jelas berdampak pada yang lain. Maksud saya, mengapa yang lain harus terus memperbaiki keadaan jika salah satu pemain kunci sekali lagi meninggalkan ruangan?" kata Watkinson.
Saat ini, AS merupakan penghasil emisi GRK terbesar kedua di dunia setelah China.
Kepergian AS dari Perjanjian Paris bakal merusak ambisi global untuk memangkas emisi GRK, paling tidak emisi yang dihasilkan dari negara tersebut.
Baca juga: 9 Tahun Usai Perjanjian Paris, Transisi Energi Terganjal Kesenjangan Teknologi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya