KOMPAS.com - Organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam upaya pelestarian lingkungan dan sumber daya alam, Auriga Nusantara, menyebutkan, lebih dari separuh deforestasi di Indonesia terjadi di area konsesi.
Menurut penghitungan Auriga Nusantara, total deforestasi di Indonesia sepanjang 2024 mencapai 261.575 hektare.
Dari jumlah tersebut, 59 persen atau 153.498 hektare terjadi di area konsesi.
Baca juga: 10 Provinsi dengan Deforestasi Terparah Sepanjang 2024, 3 dari Kalimantan
Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan, hal tersebut mengindikasikan deforestasi legal karena penghilangan tutupan hutan alam di area konsesi diperbolehkan.
"Deforestasi legal menjadi masalah terbesar kita," kata Timer dalam YouTube Auriga Nusantara, Jumat (31/1/2025).
Menurut catatan lembaga tersebut, ada empat jenis konsesi yang menyumbang deforestasi terbesar yakni logging, kebun kayu, tambang, dan sawit.
Sepanjang 2024, deforestasi di konsesi logging tercatat 36.068 hektare, kebun kayu 41.332 hektare, tambang 36.615 hektare, dan sawit 37.483 hektare.
Baca juga: Auriga: Deforestasi Indonesia Tahun 2024 Naik, Kalimantan Terparah
Dia menambahkan, pemerintah memberikan izin-izin atau membangun proyek strategis nasional (PSN) sehingga membabat hutan dibabat secara legal.
"Selama ini kita kerap mendengar bahwa masyarakat lokal atau kemiskinan disalahkan sebagai penyebab deforestasi di indonesia. Tapi, angka-angka deforestasi atau tempat kejadian deforestasi membantah itu semua," jelas Timer.
Di samping itu, belum ada payung hukum yang melindungi kawasan hutan alam selain kawasan konservasi.
"Kami berani menyimpulkan hanya 3 persen deforestasi yang terjadi pada 2024 sebagai ilegal. Selebihnya sangat mungkin legal karena dibolehkan, diberikan izin, karena aturan tidak melindungi hutan alam," papar Timer.
Baca juga: Deforestasi Diprediksi Naik hingga Setengah Juta Hektare pada 2025
Timer menyampaikan, penghitungan deforestasi yang dilakukan Auriga Nusantara dilakukan dengan tiga tahapan.
Pertama, mendeteksi dugaan deforestasi dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama memanfaatkan data publik yang disediakan oleh Universitas Maryland.
Pendekatan kedua yakni membandingkan data bulanan sepanjang 2024 dengan data tutupan hutan pada 2017. Data dua pendekatan ini digabungkan dan diperoleh dugaan data deforestasi.
Kedua, inspeksi visual. Tahapan ini memeriksa satu per satu perubahan tutupan hutan dengan citra satelit beresolusi tinggi.
"Melalui inspeksi visual ini kami bisa mengetahui mana false deforestasion," tutur Timer.
Ketiga, pemantauan langsung ke lapangan. Dalam tahapan ini, tim Auriga Nusantara terjun langsung ke daerah dugaan deforestasi berdasarkan data dua langkah sebelumnya.
"Sebenarnya inspeksi visual tadi sudah menghasilkan data. Tapi kami ingin lebih yakin dengan pemantauan lapangan dengan mengunjungi wilayah deforestasi di kawasan hutan," kata Timer.
Baca juga: Ubah Definisi Deforestasi, RSPO Dituding Permudah Konversi Hutan untuk Sawit
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya