Dalam beberapa waktu terakhir ini, perhatian publik tertuju kepada keputusan politik pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan penghematan anggaran sebesar Rp 306,69 triliun, atau sekitar 8,5 persen dari total APBN 2025 yang berjumlah Rp3.621,3 triliun.
Langkah ini bertujuan untuk mengalihkan dana ke program prioritas, seperti penyediaan makanan gratis bagi lebih dari 82 juta anak dan ibu hamil, yang memerlukan anggaran tahunan sebesar 28 miliar dollar AS.
Namun, penghematan ini berdampak signifikan pada berbagai sektor, termasuk sektor pertambangan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengalami pemotongan anggaran sebesar 42,4 persen, dari Rp3,91 triliun menjadi Rp2,25 triliun.
Baca juga: Pasca-RUU Minerba Disahkan, Hampir 20 Koperasi Ajukan Permohonan Kelola Tambang
Lalu apa yang mungkin terjadi ketika efisiensi anggaran untuk sektor pertambangan ini diberlakukan?
Menurut penulis, setidaknya terdapat tiga hal yang akan terjadi. Pertama, berkurangnya anggaran pengawasan.
Jika anggaran untuk instansi seperti Kementerian ESDM, inspektorat tambang, atau dinas pertambangan daerah dikurangi, maka jumlah inspektur tambang, fasilitas pemantauan, dan frekuensi inspeksi bisa berkurang.
Ini dapat menyebabkan lemahnya pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan tambang terhadap regulasi.
Kedua, penurunan kualitas pemantauan lingkungan. Sektor tambang memiliki risiko lingkungan tinggi, dan efisiensi anggaran bisa mempengaruhi kapasitas pemerintah dalam memantau dampak tambang terhadap lingkungan.
Pengurangan dana bisa berdampak pada keterlambatan evaluasi Amdal, pengawasan reklamasi, dan pemantauan pascatambang.
Ketiga, meningkatnya risiko praktik ilegal. Dengan lemahnya pengawasan, tambang ilegal dan pelanggaran dalam izin usaha pertambangan (IUP) bisa meningkat. Hal ini bisa mengurangi penerimaan negara dari sektor tambang dan memperparah dampak sosial-lingkungan akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Baca juga: Bukan Nikel, Baterai LFP Semakin Dinikmati Pasar Global
Namun, hal ini tentu tidak boleh menjadi alasan bagi pemerintah untuk menjalankan pengawasan tambang yang berkualitas. Digitalisasi dan otomatisasi dalam pengawasan sektor pertambangan dapat menjadi solusi strategis dalam menghadapi keterbatasan anggaran.
Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah pemantauan berbasis satelit dan remote sensing, menggunakan citra satelit, drone, dan LiDAR (Light Detection and Ranging) untuk mendeteksi aktivitas tambang ilegal serta memantau dampak lingkungan seperti deforestasi dan pencemaran.
Sebagai contoh, di Kalimantan Timur, teknologi pemantauan berbasis satelit telah digunakan untuk mendeteksi tambang ilegal di sekitar kawasan hutan lindung.
Di Sulawesi Tenggara, drone dan sensor IoT telah mulai diterapkan untuk memantau kualitas air di sekitar lokasi pertambangan nikel guna memastikan bahwa aktivitas tambang tidak mencemari sumber air bersih masyarakat.
Baca juga: Nikel Segera Diperdagangkan di Bursa Indonesia, Harga Acuan Dibentuk
Sementara itu, di Bangka Belitung, sistem berbasis AI telah diuji coba untuk menganalisis pola eksploitasi timah dan mendeteksi aktivitas pertambangan tanpa izin.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya