BEBERAPA hari belakangan, di sejumlah kawasan di Indonesia tidak henti-hentinya diguyur hujan, Jabodetabek di antaranya.
Sejumlah orang sudah berkomat-kamit merapalkan doa supaya banjir bandang tak jadi datang. Sebagian lain sibuk memprediksi akan terjadinya siklus banjir Jakarta lima tahunan. Dalam tarikh, banjir besar terjadi di Jakarta lima tahun lalu, tepatnya pada 2020.
Apa mau dikata, curah hujan yang begitu tinggi pada akhirnya membuat banyak tempat di Jabodatebek kebanjiran air bah. Bekasi tercatat yang paling parah.
Warga mengungsi, aktivitas terhambat, dan tentu saja kerugian material dan non-material tak bisa dihindarkan.
Misalnya, pada banjir yang melanda Jakarta lima tahun lalu, INDEF mengestimasikan kerugiannya lebih dari Rp 10 triliun.
Entah berapa rupiah kerugian yang disebabkan banjir bandang beberapa hari ini, belum ada data yang bisa kita baca bersama.
Namun, di balik bencana tersebut, ada jejak penting yang kita lupakan, konsumerisme. Ya, gaya hidup yang serba konsumtif nyatanya menyimpan rantai tak kasat mata dengan banyaknya bencana lingkungan yang terjadi.
Baca juga: 4 Wisata di Puncak Bogor Disegel, Ini Alasannya
Modernitas yang ditandai dengan situasi serba tidak pasti melahirkan keterbutuhan akan pengukuhan identitas.
Konsumsi tidak lagi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keseharian, lebih dari itu konsumsi telah dimaknai sebagai pertukaran identitas, sebagai pengukuhan kelas sosial.
Dari baju yang selalu up to date, gadget dan alat transportasi keluaran terbaru, hingga rumah-rumah mewah yang sejatinya tidak terlalu dibutuhkan dalam keseharian telah “dipaksakan” sebagai gaya hidup baru.
Sayangnya, di balik semua hingar bingar tersebut, ada sistem yang bekerja secara senyap, merusak lingkungan dan pada muaranya akan berdampak pada kita semua.
Ulrich Beck, seorang Sosiolog asal Jerman, dalam bukunya Risk Society: Towards a Modernity (1992), mengingatkan kita bersama bahwa laju modernitas tidak hanya akan membawa kita pada zaman kemajuan belaka. Lebih dari itu, modernitas juga menanggung risiko yang diproduksi.
Baca juga: Sawah Berubah Jadi Perumahan, Bekasi Terancam Banjir sampai Kapan Pun
Konsumerisme, sebagai salah satu anak kandung kapitalisme, adalah salah satu mesin penghasil risiko tersebut.
Setiap dari komoditas yang seolah-olah kita butuhkan maka sebenarnya kita turut serta dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan menghasilkan residu dalam skala masif.
Beck dalam hal ini menyebutnya dengan produksi risiko (risk product), sebuah resiko yang tidak lagi alami, tetapi dibuat oleh manusia modern melalui sistem industri dan konsumsi yang tidak memiliki paradigma keberlanjutan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya