JAKARTA, KOMPAS.com - Amerika Serikat mengumumkan mundur dari Just Energy Transition Partnership (JETP) seiring dengan kebijakan efisiensi yang dilakukan Presiden AS Donald Trump.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai mundurnya Amerika Serikat dari Just Energy Transition Partnership (JETP) tidak berdampak signifikan ke transisi energi Indonesia. Sebab, JETP saat ini sudah memasuki fase implementasi.
“Fase implementasi itu sudah ada tiga hal yang memang harus terjadi, pertama adalah pelaksanaan dari proyek-proyek yang sudah disusun di dalam Comprehensive Investment Policy Plan (CIPP), kan sudah ada investment focus area,” ungkap Fabby saat dihubungi, Sabtu (8/3/2025).
Baca juga: Sumber Energi Baru Tersembunyi di Pegunungan
Proyek tersebut mencakup pembangkit energi terbarukan. Fabby berpandangan yang terpenting saat ini ialah dorongan pemerintah Indonesia implementasi proyek CIPP.
“Implementasinya berarti harus ada proyek. Daftar proyek yang ada di dalam CIPP itu harus dimasukkan ke dalam yang paling dekat adalah RUPTL PLN karena di CIPP semuanya proyek on grid,” jelas Fabby.
On grid merupakan sistem pembangkit listrik tenaga surya yang terhubung langsung dengan jaringan listrik utama atau grid. Langkah selanjutnya, melelang proyek lalu masuk ke tahap pendanaan.
“Di tahap pendanaan inilah yang pinjaman-pinjaman untuk konsesional finance itu bisa diberikan. Jadi menurut saya bolanya itu sudah lebih banyak di pemerintah Indonesia sekarang untuk mengeksekusi CIPP,” papar Fabby.
Dia menyampaikan bahwa salah satu yang dibatalkan imbas keluarnya AS dari JETP, adalah bantuan teknis dalam bentuk hibah yang sebelumnya diberikan melalui dua program utama.
Program pertama yakni Sustainable and Inclusive Access to Renewable Energy (SINAR), program kerja sama dengan USAID yang sudah berjalan selama tiga tahun dan dijadwalkan berakhir akhir tahun ini.
Kedua, Net Zero World yang dilaksanakan oleh Departemen Energi Amerika Serikat melalui National Lab.
Program itu bertujuan membantu negara-negara termasuk Indonesia, dalam mencapai target net zero emission.
“Memang kita akan kehilangan itu. Tetapi kalau dilihat pembiayaan yang Amerika kan komitmennya 2 miliar dolar, yang 1 miliar dolar dalam bentuk garansi pinjaman lewat World Bank,” ucap Fabby.
Adapun kesepakatan pendanaan telah disetujui sebelum berakhir masa pemerintahan Presiden Joe Biden. Maka, dengan adanya kesepakatan yang telah ditandatangani penghentian program hibah terhadap pembiayaan Indonesia tidak terlalu berdampak signifikan.
Baca juga: BRIN Gaet Korsel untuk Kembangkan Teknologi Energi Baru Terbarukan
Terlebih, sebagian besar program pembiayaan disalurkan melalui Development Finance Corporation (DFC), salah satunya proyek PLTP Ijen senilai 145 juta dolar AS.
“Maksud saya ada Amerika di JETP maupun enggak, sepanjang proyeknya bankable, sepertinya DFC akan tetap bisa membiayai bersama dengan konsorsium bank lain,” tutur Fabby.
Alasan terakhir, yaitu negara-negara yang tergabung di International Partners Group (IPG), sebagai mitra dalam JETP tetap berkomitmen memberikan dukungan.
“Dan yang menggantikan Amerika untuk menjadi lead untuk IPG, untuk JETP Indonesia itu Jerman, dan Jerman sudah menyatakan mengganti Amerika. Prosesnya di IPG-nya sudah berjalan,” terang dia.
Sebelumnya, Kompas.com memperoleh dokumen dari Duta Besar AS untuk Indonesia Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Kamala Shirin Lakhdhir, kepada pemerintah RI yang menyatakan bahwa pihaknya keluar dari Just Energy Transition Partnership (JETP).
"Staf saya di kedutaan dan saya tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan Anda dan tim Anda untuk memperkuat kemitraan AS-Indonesia," kata Kamala dalam keterangan tertulis yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri H E Sugiono, Jumat (7/3/2025).
Untuk diketahui, JETP yang terdiri dari 10 negara donor pertama kali diluncurkan pada pembicaraan iklim PBB di Glasgow, Skotlandia, tahun 2021.
Baca juga: AS Mundur dari JETP, Kedubes Pastikan Kerjasama Energi dengan RI Tetap Jalan
Afrika Selatan, Indonesia, Vietnam, dan Senegal kemudian diumumkan sebagai penerima manfaat pertama dari pinjaman, jaminan keuangan, dan hibah untuk beralih dari batu bara.
Dikutip dari Reuters, Joanne Yawitch, kepala Unit Manajemen JETP di Afrika Selatan menyebut bahwa AS telah mengomunikasikan penarikannya dari rencana tersebut di wilayah itu.
Komitmen AS untuk Indonesia dan Vietnam melebihi 3 miliar dollar AS secara total, sebagian besar melalui pinjaman komersial.
Sementara untuk Afrika Selatan, komitmen AS adalah 1,063 miliar dolar AS dari yang sebelumnya 11,6 miliar dolar AS. Sejak Presiden Donald Trump menjabat, AS telah memangkas bantuan asing dan memperjuangkan pengembangan bahan bakar fosil.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya