KOMPAS.com - CEO Pertamina New and Renewable Energy (NRE) John Anis mendorong implementasi bioetanol sebagai bahan bakar minyak (BBM) di sektor transportasi.
Menurutnya, bioetanol menjadi salah satu solusi untuk mengurangi emisi di sektor transportasi
John menilai, pengembangan bioetanol memiliki dampak ekonomi yang luas, termasuk pemberdayaan petani.
Baca juga: Pemerintah Diminta Serius Kembangkan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati
Salah satu sumber potensial bioetanol di masa depan adalah aren. Jika dikelola dengan baik, hal tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
"Jadi, ya, petani-petani aren itu nanti kalau memang benar kita didik mereka menjadi petani yang profesional, itu meningkatkan pendapatan mereka. Petani yang lain bisa tumbuh lagi, bisa bertambah banyak lagi," ucap John, sebagaimana dilansir Antara, Senin (10/3/2025).
Ia menyampaikan, saat ini Indonesia baru memproduksi sekitar 30.000 kiloliter bioetanol. Pada 2029 kebutuhannya diperkirakan mencapai 5 juta kiloliter.
Dengan kesenjangan produksi yang besar, John mengajak semua pihak untuk mendorong pengembangan bioetanol sebagai solusi berkelanjutan dalam transisi energi.
Baca juga: Ekonom: Bioetanol Perlu, tapi Harganya Harus Terjangkau Masyarakat
"Potensinya luar biasa. Mari kita dorong bioetanol sebagai salah satu solusi," ucap John.
Di sisi lain, ia juga menilai bioetanol sebagai solusi yang paling menarik untuk diimplementasikan, sebab masyarakat tidak perlu mengganti kendaraan yang mereka miliki.
Apabila dibandingkan dengan elektrifikasi kendaraan, masyarakat harus mengganti kendaraan mereka dengan kendaraan listrik.
Penggantian kendaraan tersebut, menurut John, membutuhkan waktu sekitar 10–15 tahun agar kendaraan listrik digunakan secara masif di tengah masyarakat.
Baca juga: Kemenhut Siapkan Hutan untuk Produksi Bioetanol dari Aren
"Kan tidak bisa mengganti semua mobil yang ada secara langsung dengan kendaraan listrik, meskipun dapat insentif. Perlu waktu untuk benar-benar ke kendaraan listrik semua," ucapnya.
Dia menambahkan, kendaraan-kendaraan besar, seperti pesawat terbang dan kapal kargo, juga tidak memungkinkan untuk menggunakan baterai.
Oleh karena itu, John menilai bahan bakar nabati (BBN) seperti bioetanol dan biodiesel merupakan jembatan pengurangan emisi karbon di sektor transportasi.
"Sektor transportasi itu memang masih memerlukan jembatan apabila melihat kondisi sekarang. Karena itulah, kami mendorong biofuel (BBN) ini, terutama biodiesel dan kemudian ada bioetanol," kata John.
Baca juga: Limbah Sawit Lebih Ramah Lingkungan Jadi Bahan Baku Bioetanol
Di sisi lain, John menilai permasalahan pengembangan bioetanol saat ini adalah harga yang tidak kompetitif.
Bahan baku bioetanol mayoritas berasal dari molase atau tetes tebu yang sebagian besar diekspor ke Filipina karena harganya mahal.
Apabila ingin mengembangkan bioetanol yang lebih masif di Indonesia, John merasa perlu ada kebijakan domestic market obligation (DMO) untuk bahan baku bioetanol, sebagaimana pemerintah menerapkan DMO batu bara untuk sektor kelistrikan.
Selain itu, kebijakan mandatori bioetanol seperti E10 atau campuran 10 persen bioetanol dan 90 persen bensin dapat mendorong produksi molase.
"Kalau E10, itu kan pasti pasarnya bergerak dan semua orang akan memproduksi molase juga. Pada akhirnya, dengan sendirinya harga pasar akan lebih murah," kata John.
Pengembangan bioetanol, kata dia, juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian agar tidak bersaing dengan industri makanan.
Baca juga: Jalan Panjang Bioetanol, BRIN: RI Masih Impor Singkong
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya