Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perubahan Iklim dan El Nino Sebabkan Seni Gua Prasejarah Maros-Pangkep Mengelupas

Kompas.com - 24/03/2025, 17:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Perubahan iklim, khususnya El Nino, berdampak pada pengelupasan seni cadas berusia lebih dari 50.000 tahun yang terdapat di kawasan Geopark Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.

Temuan tersebut mengemuka dalam penelitian yang dilakukan Guru Besar Hidrometeorologi Departemen Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Hasanuddin (Unhas) Profesor Halmar Halide.

Halimar membeberkan temuan tersebut dalam presentasinya berjudul The Impact of ENSO and Weather on Cave Art Exfoliation in the UNESCO Global Geopark Maros-Pangkep saat webinar Peringatan Hari Meteorologi Dunia di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Baca juga: Penyerapan Karbon Alami Menurun, Perubahan Iklim Makin Cepat

Halmar menuturkan, perubahan suhu dan kelembaban akibat El Nino mempercepat degradasi seni cadas di beberapa gua di Maros-Pangkep, seperti Leang Pettae, Leang Parewe, Leang Jing, dan Leang Jarie.

Selain itu, ada faktor tambahan berupa aerosol sulfur yang semakin mempercepat proses kerusakan lukisan gua.

Aerosol sulfur tersebut berasal dari aktivitas manusia seperti emisi kendaraan diesel, pembakaran jerami, dan industri.

Penelitian tersebut juga melibatkan pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial inteligence (AI) untuk memodelkan hubungan antara variabilitas iklim dan tingkat kerusakan lukisan gua.

Baca juga: Massa Gletser Seluruh Dunia Kembali Menyusut Imbas Perubahan Iklim

"Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan iklim memiliki korelasi signifikan dengan tingkat kerusakan seni cadas tersebut," kata Halmar, sebagaimana dilansir Antara.

Lebih jauh, Halmar menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk keterlibatan kementerian dan komunitas peneliti dari berbagai disiplin ilmu, untuk mengembangkan strategi konservasi berbasis pemantauan iklim.

"Kita perlu menghindari kerja sendiri-sendiri yang bisa berujung pada tumpang tindih riset. Justru, dengan menghimpun para peneliti dan pihak terkait dalam satu kolaborasi besar, kita bisa menciptakan solusi yang lebih efektif," ujar Halmar.

Halmar menambahkan, sebagai pakar hidrometeorologi, dirinya telah beberapa kali menjadi pembicara dalam webinar serupa di ITB, membahas topik terkait mitigasi bencana dan perubahan iklim.

Baca juga: Sepanjang 2024, Dunia Dilanda 151 Peristiwa Cuaca Ekstrem karena Perubahan Iklim

Namun, tahun ini ia memilih sudut pandang yang berbeda. Jika sebelumnya ia lebih banyak membahas tentang sistem peringatan dini, kali ini ia mengangkat warisan budaya sebagai salah satu aspek yang turut terdampak oleh perubahan iklim.

Dengan menghadirkan pakar dari berbagai universitas dan institusi, webinar ini diharapkan membuka diskusi lebih luas tentang peran ilmu atmosfer tidak hanya dalam mitigasi bencana, tetapi juga dalam menjaga warisan budaya dunia.

Melalui penelitian ini, Halmar ingin menyebarkan kesadaran bahwa konservasi seni gua bukan sekadar isu arkeologi atau sejarah, tetapi juga berkaitan erat dengan dinamika iklim global yang terus berubah.

Baca juga: 48,6 Juta Penduduk Indonesia Terpapar Panas Ekstrem, Dampak Perubahan Iklim Makin Nyata

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau