Oleh: Musnanda Satar*
SEJAK digulirkan pada awal 2025, tampaknya pemerintah belum akan mengurungkan niat mengalihfungsikan kawasan hutan seluas 20,6 juta hektare (ha) untuk menjadi lahan pangan, air dan energi, meskipun tuntutan untuk mengkaji ulang bahkan menghentikan terus bergema.
Sejak awal tahun 2000, para pakar sudah mengingatkan bahwa bumi akan mengalami kondisi kekurangan pangan, energi dan air bersih atau FEWS (Food, Energy, and Water Scarcities).
Bertambahnya jumlah penduduk serta peningkatan pendapatannya, memang perlu diimbangi dengan pembangunan lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan, maupun membuka kawasan hutan yang memiliki sumber daya energi baru dan terbarukan.
Namun, apakah untuk mencukupi kebutuhan itu harus dilakukan dengan mengubah 20,6 juta ha kawasan hutan menjadi wilayah cadangan pangan dan energi?
Dari sisi konservasi, tulisan ini mencoba menawarkan pilihan selain konversi lahan kawasan hutan khususnya hutan alam (natural forests).
Baca juga: Pemerintah Gelontorkan Rp 5,1 Triliun untuk Food Estate di Kalteng
Menurut data Indonesia Biodiversity Action Plan (IBSAP), hutan tropis Indonesia menjadi tempat tinggal 13 persen jenis mamalia dunia, 16 persen jenis reptilia, 17 persen jenis burung serta tempat tumbuhnya, 10 persen jenis tanaman berbunga dunia.
Hutan alam tropis Indonesia merupakan satu dari lima lokasi dengan nilai kekayaan keaneragaman tertinggi di dunia.
Nilai dari suatu hutan tropis dapat dilihat dari nilai ekonomi, penyerapan karbon, layanan jasa lingkungan, wisata, serta agroforestry.
Rangkuman beberapa kajian yang dilakukan oleh The Economics of Ecosystems and Biodiversty (TEEB) menyebut nilai hutan tropis antara 2.000-20.000 dollar AS per ha per tahun.
Sementara nilai hutan di Sumatera dan Kalimantan berada di angka 3.000-15.000 dollar AS per ha per tahunnya.
Luasan kawasan hutan yang dapat dikonversi yang mencapai 20,6 juta ha itu sendiri, lahir dari perhitungan Kementerian Kehutanan pada Desember 2024, dengan mengacu pada luasan kawasan hutan belum berizin, kawasan hutan produksi yang belum berizin serta kawasan hutan yang sudah berizin.
Lantas, apakah benar 20,6 juta ha kawasan itu saat ini semuanya sudah tidak ada pepohonannya?
Sebab jika melakukan konversi pada kawasan yang masih memiliki tutupan hutan, hal ini akan mengakibatkan pengurangan stok karbon yang akan meningkatkan emisi karbon ke atmosfer.
Bagi para akademisi dan lembaga lingkungan hidup, dampak tersebut merupakan ancaman bagi kawasan hutan di Indonesia yang selama ini sudah mengalami degradasi dan deforestasi.
Sebagai ilustrasi, kawasan hutan yang memiliki nilai biomasa 204,10 ton jika dikonversi menjadi perkebunan, maka hanya akan menyisakan biomasa 161,23 ton.
Sehingga terjadi pengurangan biomasa sebesar 42,87 ton/ha. Jika dikonversi ke carbon 42,87 x 0,47 = 20,15 yang akan menghasilkan emisi CO2 sebesar 73.95 ton Co2/ha.
Baca juga: Mengapa Food Estate Sebelumnya Gagal? Mentan Amran Beri Jawabannya
Tentu saja kebijakan pangan dan energi tidak akan mengubah 20,6 juta ha hutan. Namun, sebagai ilustrasi, jika 20,6 juta ha diubah menjadi perkebunan, maka akan ada emisi sebesar 1.479 mega ton CO2 equivalent.
Belum lagi dengan nilai hutan alam tropis di kisaran 3.000 – 15.000 dollar AS per ha per tahun, maka dengan mengonversi 20,6 juta ha hutan artinya Indonesia harus siap kehilangan 60 miliar dollar AS per ha per tahun. Ini belum termasuk risiko kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati yang sepenuhnya tidak bisa dipulihkan.
Salah satu langkah konkret yang sudah sejak lama disuarakan berbagai pihak, yaitu mengevaluasi kebijakan serupa yang sudah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah seperti food estate.
Proyek food estate lahan gambut 1 juta ha di Kalimantan Tengah, misalnya, apakah sudah membuahkan hasil? Lalu bagaimana dengan proyek pengembangan food estate di Papua seluas 1,2 juta ha, serta food estate di Sumatera Utara apakah ada yang berhasil?
Sementara di sisi lain, ada beberapa program yang seharusnya lebih diperhatikan Indonesia demi meningkatkan produktivitas pangan.
Badan Pusat Statistik mencatat luas panen padi pada 2024 diperkirakan sekitar 64.190 ha, atau bertambah 5.580 ha (9,52 persen) dibandingkan luas panen padi di 2023.
Badan Pangan Nasional bahkan memperkirakan produksi beras nasional sepanjang tahun tersebut sebanyak 31,93 juta ton ditambah kuota impor sebanyak 433.000 ton.
Angkanya bisa semakin bertambah jika program perluasan lahan sebanyak 1,3 juta ha dari Kementerian Pekerjaan Umum bisa direalisasikan.
Melihat statistik di atas, maka seharusnya kebutuhan pangan di Indonesia dapat dipenuhi melalui intensifikasi dengan memperbaiki sistem irigasi dan tata niaga pupuk. Sehingga jumlah panen petani bisa meningkat dari 7 ton menjadi 10 ton gabah kering per ha.
Dari sisi pemenuhan energi, Indonesia memiliki potensi besar energi di luar biomasa yang belum tereksplorasi dan tereksploitasi.
Laporan Internasional Renewable Energy Agency (IRENA) menyebutkan Indonesia memiliki potensi 3.000 GW energi dari solar panel, 75 GW dari tenaga air, 61 GW dari energi angin, dan dari geothermal sebesar 28,5 GW.
Berdasarkan data tahun 2020, dari 70 GW instalasi listrik terpasang di seluruh Indonesia, hanya 12 persen menggunakan energi terbarukan, sisanya didominasi oleh energi berbasis fosil seperti batu bara dan minyak bumi.
Baca juga: Kemenhut: Deforestasi Indonesia Meningkat pada 2024
Dibandingkan mengejar penyediaan energi dengan biomasa dan biofuel yang membutuhkan pembukaan kawasan hutan, seharusnya Indonesia bisa memaksimalkan potensi energi baru dan terbarukan lain yang tersedia.
Kebijakan cadangan hutan untuk pangan, air dan energi seluas 20,6 juta ha perlu dikaji secara spatial dan lebih detail. Kajian dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan modelling spatial untuk melihat human modification index atau indeks tekanan manusia.
Kajian ini bisa memotret kondisi aktual kegiatan manusia yang berdampak terhadap alam dan menjadi salah satu dasar dalam menyusun skenario mitigasi.
Hasil kajian akan memberikan gambaran alternatif yang bisa dilakukan dengan menggunakan hirarki mitigasi.
Jika diterapkan skenario mitigasi, maka kawasan hutan yang dapat digunakan untuk cadangan pangan dan energi tidak lebih dari 2,3 juta ha.
Dari sisi mitigasi masuk kedalam skenario restore, sedangkan pada luasan opsi maksimal dikisaran 8,5 juta ha harus dilakukan dengan penerapan prinsip mitigasi minimize.
Dengan prinsip ini, maka tidak diperlukan pembukaan kawasan, tetapi dilakukan pemanfaatan secara lestari, misalnya agroforestry ditutupan kanopi hutan tanpa adanya penebangan.
Untuk kawasan lainnya seperti di areal penggunaan lain (APL) dan konsesi perkebunan dengan total prinsip offset dari kehilangan kawasan pertanian seluas 6 juta ha selama 10 tahun.
Sebagai pengantinya diambil dari kawasan APL yang belum dimanfaatkan secara maksimal seluas 4,1 juta ha dan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 962.000 ha.
Skenario ini masih harus ditambahkan dengan aspek nonspatial seperti intensifikasi tanaman pangan dan perkebunan, perbaikan tata niaga pupuk, pengembangan kapasitas petani dan perbaikan infrastruktur pertanian.
Seharusnya kita sepakat bahwa ketahanan pangan dan energi merupakan program jangka panjang yang harus dimiliki oleh Indonesia. Namun, di sisi lain kebijakan yang perlu diambil harus dilakukan dengan memperhitungkan secara matang keuntungan dan kerugiannya.
Indonesia juga harus melihat kembali komitmen perubahan iklim seperti yang tertuang dalam kebijakan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 diamanatkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021.
Program ini menggunakan empat strategi utama, yaitu menghindari deforestasi; konservasi dan pengelolaan hutan lestari; perlindungan dan restorasi lahan gambut; serta peningkatan serapan karbon.
Secara spatial kebijakan ini perlu ditelaah lebih jauh. Kajian di atas merupakan indikatif yang menunjukkan bahwa program dapat dilakukan pada wilayah Kawasan Hutan dan APL tanpa perlu melakukan pembukaan lahan.
Semuanya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan lahan sambil tetap menjaga kekayaan hutan tropis kita yang nilainya sangat tinggi dan tidak tergantikan.
*Senior Manajer Perencanaan Konservasi YKAN
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya