Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh Samsul Arifin
Broadcaster Journalist

Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data

Politik Energi Menuju Konservatif

Kompas.com - 27/03/2025, 14:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUNIA sedang disapu "Donald Trump Effect". Kini urusan domestik adalah "tuan" yang mengarahkan haluan politik dan kepentingan nasional suatu negara.

Sudah lama begitu, tapi setelah Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat kali kedua, dosis orientasi ke dalam negeri menguat--melampaui batas-batas yang dapat diduga. Begitu juga dalam ketahanan energi atau di lain tempat disebut kedaulatan energi.

Soko guru ketahanan energi AS kembali ke energi fosil yang kotor. Minyak, gas dan batu bara bakal menjadi penopang bagi negeri yang belok arah ke konservatisme gigi empat itu.

Haluan ini pula yang membuat Trump ringan tangan keluar dari Perjanjian Paris 2015. Ini talak kedua Trump setelah langkah serupa di periode pertama kepresidenannya.

Dan kini, AS tak berkepentingan mengikatkan diri untuk mewujudkan mitigasi dan aksi iklim yang membatasi kenaikan suhu global agar tak melompat di atas 1,5 derajat Celcius dibandingkan suhu pra-revolusi industri itu.

Bukan kebetulan jika dalam KTT Iklim atau COP 29 di Baku, Azerbaijan, komitmen pendanaan iklim setahun yang disepakati cuma 300 miliar dollar AS, jauh di bawah target sebesar 1 triliun dollar AS setahun.

Apalagi target ideal yang mencapai 1,3 triliun dollar AS setahun hingga 2035, yang dibutuhkan negara miskin dan berkembang untuk mencegah dampak buruk perubahan iklim.

AS dituding sebagai salah satu negara yang menyebabkan realisasi pendanaan iklim cekak tadi.

Baca juga: Aksi Iklim Tak Boleh Gulung Tikar

Pernyataan berikut harus diulang-ulang karena kepentingan dan kedaruratannya. Pertama, negara-negara di belahan bumi utara bertanggung jawab atas krisis iklim, sebab lebih dari 92 persen emisi karbon yang muntah ke atmosfer dihasilkan mereka.

Kedua, negara-negara di belahan bumi utara, lewat korporasi dan kaki tangan mereka, mengeksploitasi sumber daya (termasuk energi fosil) di belahan bumi selatan. Inilah kolonialisme iklim, satu bab yang tak terelakkan dalam sejarah dunia.

Melengkapi bab kolonialisme yang lebih tua tatkala keserakahan, nafsu menguasai sumber daya alam serta eksploitasi manusia atas manusia lain dipraktikkan dengan bengis oleh negara-negara Eropa, terutama dari barat benua biru itu, di abad 15 hingga abad 20 lalu.

Satu bab lagi adalah kolonialisme kolot yang mengguncang warga sipil sejak Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika hingga Asia, dan seolah membenarkan rumus cepat untuk sejahtera dan makmur: Datang, gali, tanam, angkut dan lalu pergi.

Itulah wajah kolonialisme dan imperialisme lawas dan tetap bertahan hingga kini.

Setelah mengotori atmosfer dengan gas rumah kaca sejak revolusi industri abad 18 silam, negara-negara di belahan bumi utara yang notabene lebih maju--dan otomatis lebih makmur dan sejahtera--mengelak dari kewajiban "urunan" pendanaan iklim yang lebih realistis bagi negara miskin dan berkembang yang terpapar dampak perubahan iklim yang kian masif, tak terkendali dan merusak.

Isi bumi digali dengan eksploitasi yang ugal-ugalan oleh negara maju. Tapi giliran ditagih untuk memulihkan kondisi bumi yang makin tercabik-cabik, negara maju berat pinggul.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Pangkas Emisi dari Transportasi, MTI Dorong Integrasi Tarif Angkutan Umum
Pangkas Emisi dari Transportasi, MTI Dorong Integrasi Tarif Angkutan Umum
LSM/Figur
Mangrove di Kamal Muara Dikembangkan, 40.000 Bibit Bakal Ditanam
Mangrove di Kamal Muara Dikembangkan, 40.000 Bibit Bakal Ditanam
Pemerintah
Temuan BFA: Konsumsi Ikan Tinggi, Stunting Tak Turun, Salah Kaprah Gizi Sebabnya
Temuan BFA: Konsumsi Ikan Tinggi, Stunting Tak Turun, Salah Kaprah Gizi Sebabnya
Pemerintah
Selatan Jawa Harus Siap Siaga Bencana, Tsunami Besar Bisa Terjadi Lagi
Selatan Jawa Harus Siap Siaga Bencana, Tsunami Besar Bisa Terjadi Lagi
Pemerintah
Rumpon Ilegal Menjamur, Lemahnya Pengawasan Laut Sebabnya
Rumpon Ilegal Menjamur, Lemahnya Pengawasan Laut Sebabnya
LSM/Figur
Meta Bangun Pusat Data dengan Kayu Rekayasa agar Lebih Berkelanjutan, Cukupkah?
Meta Bangun Pusat Data dengan Kayu Rekayasa agar Lebih Berkelanjutan, Cukupkah?
Pemerintah
Menteri KKP: Perikanan Tangkap Harus Dekati Nol, Misi 1.100 Kampung Nelayan Strateginya
Menteri KKP: Perikanan Tangkap Harus Dekati Nol, Misi 1.100 Kampung Nelayan Strateginya
Pemerintah
Pendanaan Jadi Masalah Utama Kompleksnya Pengadaan Bus Listrik di Indonesia
Pendanaan Jadi Masalah Utama Kompleksnya Pengadaan Bus Listrik di Indonesia
LSM/Figur
Bappenas: Mengonsumsi Ikan Lebih Ramah Lingkungan ketimbang Hewan Ruminansia
Bappenas: Mengonsumsi Ikan Lebih Ramah Lingkungan ketimbang Hewan Ruminansia
Pemerintah
15,5 Kg Sisik Trenggiling Diselundupkan, Pelaku Terancam 15 Tahun Penjara
15,5 Kg Sisik Trenggiling Diselundupkan, Pelaku Terancam 15 Tahun Penjara
Pemerintah
Menilik Peran Sawit dalam Gaya Hidup Modern Berkelanjutan
Menilik Peran Sawit dalam Gaya Hidup Modern Berkelanjutan
BrandzView
Batang Toru dan Ujian Keberlanjutan di Sumatra Utara
Batang Toru dan Ujian Keberlanjutan di Sumatra Utara
LSM/Figur
Sejarawan: Masalah Krisis Iklim Dimulai Sekitar 200 Tahun Lalu
Sejarawan: Masalah Krisis Iklim Dimulai Sekitar 200 Tahun Lalu
Pemerintah
Ahli Ungkap Sidik Jari Genetik Penyu, Penting untuk Kompas Konservasi
Ahli Ungkap Sidik Jari Genetik Penyu, Penting untuk Kompas Konservasi
Pemerintah
Jaga Populasi, TN Way Kambas Gencarkan 'Breeding' Gajah Sumatera
Jaga Populasi, TN Way Kambas Gencarkan "Breeding" Gajah Sumatera
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau