Sekali lagi, di sini kita bertemu dengan kolonialisme yang congkak dan hanya mau menang sendiri. Di titik ini, kita memergoki harapan yang pincang. Asa menyelamatkan bumi (save the earth) seperti menegakkan benang basah.
Konteks global dengan sentimen menuju konservatisme akut itu melingkupi Indonesia. Terlebih, sebagaimana AS, Indonesia menggelar Pemilu lima tahunan untuk mengisi pos presiden pada 2024.
Bedanya, AS dihantam diskontinuitas kepemimpinan: Kamala Harris yang disodorkan Partai Demokrat, seperti Hillary Clinton tahun 2020, tak sanggup menang atas Donald Trump dari Partai Republik dalam Pilpres AS tahun 2024.
Kebijakan energi Joe Biden, yang relatif lebih pro-iklim, pun rontok disapu Trump.
Situasi Indonesia agak lain. Dalam Pilpres 2024, Prabowo Subianto yang merangkul putra sulung Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sukses melanjutkan kepemimpinan rezim Jokowi yang bertumpu pada infrastrukrur dan belakangan hilirisasi.
Baca juga: Jejak Karbon dan Pola Makan
Otomatis kontinyuitas kepemimpinan nasional terawat di negeri kita. Namun, dengan tanda yang "menuju" bertemu dengan kebijakan energi Trump.
Mari menengok lebih rinci. Dalam mencapai ketahanan energi, di mana pemerintahan Prabowo menyebutnya sebagai swasembada energi, Indonesia tak ubahnya Trump yang bertumpu pada energi fosil.
Lifting minyak yang di akhir 2024 cuma 600.000-602.000 barel per hari akan dipacu mencapai 900.000 sampai satu juta barel per hari pada 2028-2029 mendatang.
Target itu akan dikejar dengan tiga cara: optimalisasi produksi minyak bumi, reaktivasi sumur-sumur yang selama ini idle (menganggur atau tidak produksi), serta eksplorasi potensi minyak bumi.
Teknik pengeboran horizontal mulai diterapkan di beberapa wilayah kerja minyak dan gas bumi. Teknik ini diadaptasi dari AS yang diklaim manjur meningkatkan produksi dari 3,5 juta barel menjadi 13 juta barel sehari.
Indonesia "dinina-bobokan" cadangan minyak sebesar 4,7 miliar barel (data Februari 2024). Dengan dipompa maksimal 1 juta barel sehari, cadangan itu bakal habis dalam 13 tahun.
Namun akan lebih cepat tandas jika teknik horizontal diterapkan. Pokok kata pasti habis, tapi masih cukup, bahkan jika Prabowo berkuasa lagi lewat Pilpres 2029 mendatang.
Batu bara tetap primadona. Energi listrik Indonesia masih ditopang PLTU yang bersumber dari batu bara.
Baca juga: Ketahanan Ekonomi dan Energi RI Terancam Jika Mundur dari Perjanjian Paris
Komoditas ini menjadi sumber penghasilan negara dengan volume ekspor yang terus meningkat. Pada 2024, negeri kita mengekspor 555 juta batu bara atau setara 33-35 persen dari total konsumsi dunia (Ditjen Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM).
Jebakan ini membuat jalan pensiun dini PLTU batu bara berada di area "abu-abu". Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan pemerintah mau saja memensiun-dinikan PLTU batu bara.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya