3. Tipu-tipu sertifikasi
Persyaratan sertifikasi produk menjadi penghalang besar bagi petani untuk bisa masuk ke pasar global atau menjual biji kopi langsung ke konsumen akhir.
Sertifikasi produk seperti fair trade, organik, atau Geographical Indication (GI) mensyaratkan standar yang sangat tinggi. Di antaranya, mengharuskan kualitas dan kuantitas produk harus stabil, yang tentu membutuhkan biaya besar. Petani harus membayar pelatihan, penilaian, dan pengawasan—sesuatu yang sulit mereka jangkau. Jadi, lagi-lagi ujungnya petani kembali bergantung pada pengepul lokal dengan imbalan harga yang rendah.
4. Kelembagaan bisnis yang lemah
Di Kabupaten Aceh Tengah, terdapat beberapa koperasi yang seharusnya bisa menjadi perantara antara petani dan pasar untuk memastikan harga jual kopi yang adil. Namun dalam praktiknya, para petani merasa bahwa koperasi tidak mewakili kepentingan mereka.
Harga kopi yang ditetapkan koperasi sering kali terlalu rendah, dengan sistem pembagian keuntungan dan pengelolaan keuangan yang kurang transparan. Kesenjangan akses dan informasi membuat tidak semua anggota koperasi terlibat dalam pengambilan keputusan.
Pemerintah daerah melalui Peraturan Gubernur Aceh Nomor 32 Tahun 2022 tentang Pedoman Tata Kelola Kopi Arabika Gayo sebagai Kopi Spesialti telah menetapkan Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) bertanggung jawab sebagai penjamin mutu, rantai pasok, dan keberlanjutan usaha kopi, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan petani harus berjuang sendiri.
5. Kurangnya dukungan pemerintah
Dukungan pemerintah terhadap pengembangan industri kopi berkelanjutan, termasuk pemberian insentif, pendidikan, pelatihan bagi petani kopi Arabika Gayo masih sangat minim.
Dalam penelitian yang kami lakukan, tercatat hanya ada enam pelatihan dengan 18 peserta per sesi yang dilakukan sepanjang 2022–2024. Angka ini sangat kecil dibandingkan jumlah petani kopi di Aceh Tengah yang mencapai 39.475 orang
Kami juga menemukan banyak petani masih menggunakan bahan tanam seadanya dan bibit yang tidak berkualitas serta tidak mampu menerapkan manajemen kebun yang baik. Tak ayal, produktivitas kebun kopi pun rendah. Rata-rata produktivitas kebun kopi di lokasi penelitian hanya 800 kg per hektare, jauh dari potensi optimal Arabika Gayo yang seharusnya bisa mencapai 1,5 ton per hektare.
Apa yang bisa dilakukan?
Dari kelima permasalahan di atas, jelas, bahwa petani kopi Gayo menanggung beban yang sangat berat untuk mempertahankan mata pencaharian utama mereka. Padahal kopi merupakan komoditas utama yang menyokong perekonomian daerah. Kontribusinya signifikan terhadap pendapatan Provinsi Aceh, bahkan membantu daerah ini bangkit usai pandemi COVID-19.
Pada 2022 misalnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Aceh Tengah tumbuh 4,90%, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh yang hanya 3,80 persen.
Untuk meningkatkan produktivitas, petani butuh pelatihan manajemen kebun, pendampingan pasca panen guna meningkatkan nilai tambah, serta sertifikasi produk agar mutu kopi tetap terjaga. Program seperti farmer field school atau pelatihan klasik patut dilakukan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya