KOMPAS.com - Lautan dunia adalah rumah bagi beberapa megafauna laut paling ikonik, termasuk hiu, paus, kura-kura, dan anjing laut.
Raksasa laut ini berada di puncak jaring makanan laut, memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem laut tetap sehat.
Namun, mereka menghadapi ancaman yang semakin besar karena tekanan manusia.
Sebuah penelitian besar dan baru pun telah melacak pergerakan lebih dari 100 spesies megafauna laut untuk mengidentifikasi dan menunjukkan area-area paling penting di lautan kita yang membutuhkan upaya konservasi yang mendesak.
Studi ini dilakukan oleh ilmuwan dari Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) dan The Australian National University (ANU).
Melansir Earth, Minggu (8/6/2025), megafauna memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut.
Baca juga: Laut Kita Kian Menggelap, Keseimbangan Ekosistemnya Terganggu
Misalnya, paus. Mamalia ini membantu mengedarkan nutrisi dengan menyelam dan kemudian muncul ke permukaan untuk bernapas, yang secara efektif mengaduk lapisan laut.
Penyu laut menjaga padang lamun tetap sehat dengan merumput, sementara hiu mengatur jaring makanan dengan memangsa yang sakit dan lemah.
Meskipun penting, megafauna laut menghadapi ancaman yang semakin meningkat dari aktivitas manusia. Penangkapan ikan yang berlebihan, tabrakan kapal, terjerat dalam sampah plastik, polusi suara, dan hilangnya habitat semuanya berdampak buruk.
Perubahan iklim memperparah tantangan ini dengan menghangatkan air dan mengganggu pola migrasi dan perkembangbiakan.
Banyak dari hewan ini berumur panjang dan lambat bereproduksi, sehingga populasi mereka tidak dapat pulih dengan cepat setelah dilukai.
Saat ini, kawasan perlindungan laut (KKL) hanya mencakup delapan persen dari lautan dunia.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Laut Menderita, Dampaknya Bisa Seret Kita Semua
Namun, Perjanjian Laut Lepas PBB bertujuan untuk memperluas cakupan tersebut hingga 30 persen. Kendati demikian, studi baru ini menunjukkan bahwa meskipun target 30 persen penting, itu mungkin tidak cukup.
“Dampak perubahan lautan terhadap fauna laut raksasa sudah terlihat jelas,” kata Camrin Braun, asisten ilmuwan dan ahli ekologi laut di WHOI.
Tim pun kemudian melacak pergerakan hewan untuk menemukan area yang penting untuk mencari makan, berkembang biak, dan bermigrasi.
“Kami menemukan bahwa area yang digunakan oleh hewan-hewan ini tumpang tindih secara signifikan dengan ancaman seperti penangkapan ikan, pengiriman, pemanasan suhu, dan polusi plastik,” kata Ana Sequeira, ahli ekologi kelautan di ANU dan penulis utama studi tersebut.
“Target perlindungan 30 persen dianggap membantu tetapi tidak cukup untuk melindungi semua area penting, yang berarti bahwa strategi mitigasi tambahan diperlukan untuk mengurangi tekanan di luar area yang akan dilindungi,” paparnya lagi.
Tim peneliti menegaskan bahwa memperbanyak dan memperluas area yang dilindungi secara resmi merupakan langkah fundamental yang tak bisa ditawar lagi.
Strategi ini sama pentingnya menangani dan mengurangi ancaman yang ada di luar batas-batas area perlindungan tersebut.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa, selain kawasan lindung, penerapan strategi mitigasi seperti mengganti alat tangkap, menggunakan lampu yang berbeda pada jaring, dan skema lalu lintas untuk kapal akan menjadi kunci untuk mengurangi tekanan manusia saat ini terhadap spesies ini,” jelas Sequeira.
Penelitian ini diterbitkan di jurnal Science.
Baca juga: Terbukti, Ada Kolam Limbah Tambang Nikel Raja Ampat Jebol dan Cemari Laut
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya