Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Megafauna Laut dalam Bahaya, Area Perlindungan Harus Diperluas

Kompas.com, 9 Juni 2025, 19:06 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Earth com

KOMPAS.com - Lautan dunia adalah rumah bagi beberapa megafauna laut paling ikonik, termasuk hiu, paus, kura-kura, dan anjing laut.

Raksasa laut ini berada di puncak jaring makanan laut, memainkan peran penting dalam menjaga ekosistem laut tetap sehat.

Namun, mereka menghadapi ancaman yang semakin besar karena tekanan manusia.

Sebuah penelitian besar dan baru pun telah melacak pergerakan lebih dari 100 spesies megafauna laut untuk mengidentifikasi dan menunjukkan area-area paling penting di lautan kita yang membutuhkan upaya konservasi yang mendesak.

Studi ini dilakukan oleh ilmuwan dari Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) dan The Australian National University (ANU).

Melansir Earth, Minggu (8/6/2025), megafauna memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut.

Baca juga: Laut Kita Kian Menggelap, Keseimbangan Ekosistemnya Terganggu

Misalnya, paus. Mamalia ini membantu mengedarkan nutrisi dengan menyelam dan kemudian muncul ke permukaan untuk bernapas, yang secara efektif mengaduk lapisan laut.

Penyu laut menjaga padang lamun tetap sehat dengan merumput, sementara hiu mengatur jaring makanan dengan memangsa yang sakit dan lemah.

Meskipun penting, megafauna laut menghadapi ancaman yang semakin meningkat dari aktivitas manusia. Penangkapan ikan yang berlebihan, tabrakan kapal, terjerat dalam sampah plastik, polusi suara, dan hilangnya habitat semuanya berdampak buruk.

Perubahan iklim memperparah tantangan ini dengan menghangatkan air dan mengganggu pola migrasi dan perkembangbiakan.

Banyak dari hewan ini berumur panjang dan lambat bereproduksi, sehingga populasi mereka tidak dapat pulih dengan cepat setelah dilukai.

Saat ini, kawasan perlindungan laut (KKL) hanya mencakup delapan persen dari lautan dunia.

Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Laut Menderita, Dampaknya Bisa Seret Kita Semua

Namun, Perjanjian Laut Lepas PBB bertujuan untuk memperluas cakupan tersebut hingga 30 persen. Kendati demikian, studi baru ini menunjukkan bahwa meskipun target 30 persen penting, itu mungkin tidak cukup.

“Dampak perubahan lautan terhadap fauna laut raksasa sudah terlihat jelas,” kata Camrin Braun, asisten ilmuwan dan ahli ekologi laut di WHOI.

Tim pun kemudian melacak pergerakan hewan untuk menemukan area yang penting untuk mencari makan, berkembang biak, dan bermigrasi.

“Kami menemukan bahwa area yang digunakan oleh hewan-hewan ini tumpang tindih secara signifikan dengan ancaman seperti penangkapan ikan, pengiriman, pemanasan suhu, dan polusi plastik,” kata Ana Sequeira, ahli ekologi kelautan di ANU dan penulis utama studi tersebut.

“Target perlindungan 30 persen dianggap membantu tetapi tidak cukup untuk melindungi semua area penting, yang berarti bahwa strategi mitigasi tambahan diperlukan untuk mengurangi tekanan di luar area yang akan dilindungi,” paparnya lagi.

Tim peneliti menegaskan bahwa memperbanyak dan memperluas area yang dilindungi secara resmi merupakan langkah fundamental yang tak bisa ditawar lagi.

Strategi ini sama pentingnya menangani dan mengurangi ancaman yang ada di luar batas-batas area perlindungan tersebut.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa, selain kawasan lindung, penerapan strategi mitigasi seperti mengganti alat tangkap, menggunakan lampu yang berbeda pada jaring, dan skema lalu lintas untuk kapal akan menjadi kunci untuk mengurangi tekanan manusia saat ini terhadap spesies ini,” jelas Sequeira.

Penelitian ini diterbitkan di jurnal Science.

Baca juga: Terbukti, Ada Kolam Limbah Tambang Nikel Raja Ampat Jebol dan Cemari Laut

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
CIMB Niaga Salurkan 'Green Financing' Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
CIMB Niaga Salurkan "Green Financing" Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
Swasta
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Petani Rumput Laut di Indonesia Belum Ramah Lingkungan, Masih Terhalang Biaya
Pemerintah
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Kemenhut Musnahkan 98,8 Hektar Kebun Sawit Ilegal di TN Berbak Sembilang Jambi
Pemerintah
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
Indonesia Bisa Contoh India, Ini 4 Strategi Kembangkan EBT
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau