JAKARTA, KOMPAS.com — Akademisi IPB University dari Sekolah Bisnis, Nimmi Zulbainarn, menegaskan bahwa ekosistem Raja Ampat memiliki nilai ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan, jauh melampaui royalti sesaat dari ekstraksi nikel.
Pernyataan ini disampaikannya menanggapi maraknya laporan terkait alih fungsi lahan hijau di Pulau Gag, Kawe, Manuran, dan sejumlah kawasan lain di Raja Ampat dalam beberapa waktu terakhir.
Menurutnya, Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai simbol megabiodiversitas laut dunia—dengan lebih dari 500 spesies karang dan ribuan jenis ikan—seharusnya dilindungi, alih-alih dijadikan sasaran eksploitasi tambang nikel. Aktivitas tersebut justru menimbulkan gejolak serius dan krisis kepercayaan terhadap arah pembangunan nasional.
Nimmi menyebut, masalah utamanya bukan hanya soal ada atau tidaknya izin pertambangan, tetapi absennya pendekatan kebijakan berbasis valuasi ekonomi yang komprehensif. Valuasi ekonomi, tegasnya, tidak sekadar mencari keuntungan maksimum, tetapi menyangkut upaya menjaga kelestarian sumber daya alam secara berkelanjutan.
Baca juga: Raja Ampat Bisa Hidup Tanpa Tambang dan Tetap Hasilkan Rp 300 Miliar Setahun
“Pendekatan valuasi menyeluruh meliputi nilai penggunaan langsung seperti perikanan dan pariwisata, nilai tidak langsung seperti perlindungan pantai dan penyerap karbon, serta nilai eksistensi seperti keberlanjutan ekosistem,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis di laman IPB University, Selasa (17/6/2025).
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa valuasi ekonomi bukan sekadar mengonversi nilai lingkungan menjadi angka rupiah, tetapi merupakan pendekatan ilmiah dan normatif untuk menempatkan lingkungan di pusat pertimbangan kebijakan.
Jika pembangunan hanya dipahami sebagai akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, kata Nimmi, maka kasus Raja Ampat menjadi cerminan nyata dari kegagalan memahami esensi keberlanjutan.
Selain itu, menurut Nimmi, alih fungsi ekosistem di wilayah pesisir Raja Ampat juga menunjukkan adanya kontradiksi kebijakan. Di satu sisi, pemerintah mempromosikan ekonomi biru dan pariwisata berkelanjutan, namun di sisi lain tetap mengizinkan aktivitas ekstraktif di kawasan yang sama atas nama mendorong perekonomian.
Padahal, sebuah studi empiris menunjukkan bahwa setiap hektare terumbu karang di Raja Ampat mampu menghasilkan miliaran rupiah per tahun melalui pariwisata bahari, perikanan tangkap, dan jasa ekosistem lainnya.
“Aktivitas pertambangan berpotensi merusak seluruh potensi tersebut,” ujar Nimmi.
Ia menambahkan, bahwa sedimentasi, kerusakan karang, dan polusi air yang ditimbulkan dapat menggerus basis ekonomi lokal serta merusak integritas ekologis yang menjadi fondasi keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Baca juga: Konservasi Indonesia: Raja Ampat Tak Boleh Dikelola Buat Ekonomi Sesaat
Nimmi juga menyoroti lemahnya tata kelola lingkungan. Banyak pertambangan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan, dan ini menjadi bukti lemahnya penegakan prinsip kehati-hatian.
“Banyak izin tambang di masa lalu dikeluarkan tanpa Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang partisipatif dan ilmiah, bahkan sebelum kajian valuasi ekonomi yang kredibel,” ujarnya.
Sementara itu, dalam konteks kebijakan publik, menurutnya, valuasi ekonomi seharusnya digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan agar eksternalitas negatif dari setiap kebijakan bisa diinternalisasi.
Jika kerusakan lingkungan akibat tambang dihitung sebagai biaya nyata—seperti kerugian produksi nelayan, biaya pemulihan terumbu karang, atau penurunan kualitas hidup masyarakat pesisir—maka menjaga kelestarian lingkungan akan tampak jauh lebih rasional secara ekonomi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya