Studi KKP–UNDP (2022) menaksir potensi ekonomi biru Kepri—berbasis pariwisata, perikanan budidaya, dan konservasi—mencapai Rp 6 triliun–Rp 8 triliun per tahun. Angka ini jauh melampaui kontribusi tambang pasir atau bauksit yang merusak lanskap.
Namun, upaya ini akan sia-sia jika prinsip-prinsip dasar pembangunan pesisir terus diabaikan.
Menurut regulasi yang berlaku, 30 persen lahan pulau wajib menjadi milik negara untuk ruang publik dan lindung, serta 70 persen lainnya harus berupa ruang terbuka hijau. Sayangnya, aturan ini sering diakali atau diabaikan.
Transformasi pembangunan Kepri membutuhkan arah yang jelas: dari ekstraktif menjadi regeneratif.
Kita (mungkin) tidak butuh lagi tambang pasir. Kita butuh pelabuhan antarwilayah yang terintegrasi, konektivitas laut yang kuat, serta digitalisasi informasi wisata. Investasi seharusnya mendorong kualitas hidup warga, bukan menjual Tanah Air kita.
Pemerintah pusat tak boleh berpangku tangan. Bila serius ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Kepri adalah titik awalnya. Namun, itu hanya akan terwujud jika disertai keberanian politik, dukungan anggaran, dan pelibatan warga secara aktif dan setara.
Baca juga: Raja Ampat dan Kutukan Sumber Daya
Sebagaimana dikatakan Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, “Koperasi adalah usaha bersama untuk kesejahteraan bersama.”
Maka pengelolaan pulau-pulau kecil juga harus mencerminkan semangat kolektif tersebut, bukan semata-mata keuntungan investor.
Pulau bukan hanya soal komoditas. Mereka adalah rumah bagi ekosistem laut, benteng kedaulatan, dan masa depan serta tempat generasi mendatang akan tumbuh. Menjaga mereka bukan hanya soal hukum, tapi juga martabat kita sebagai bangsa bahari yang berkelanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya